Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berceritalah Hari Ini: Saya, Kompasiana, dan Kasih Sayang

14 Februari 2020   16:50 Diperbarui: 16 Februari 2020   00:07 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, Hari Kasih Sayang. Begitu orang yang tinggal di belahan bumi mana pun, menyebut hari ini, dan merayakannya.

Perayaan biasanya berkelindan dengan momen sejarah, atau kadang berkaitan dengan kejadian penting dan dianggap istimewa.

Dari situ muncul simbolisasi, bentuk perayaan atau peringatan, untuk mengingat kembali peristiwa lalu yang pernah terjadi.

Itu bisa saja berbentuk atau ditandai dengan hari, angka penanggalan, tugu, monumen, dan lain-lain, karena saking penting dan istimewanya momen-momen itu. Monumental.

Termasuk Hari Kasih Sayang, atau populer dengan sebutan Valentine's Day. Ada sejarah dan ada momen penting, pasti. Makanya, diabadikan.

Terlepas sejarahnya, dan saya sedang tidak ingin bercerita tentang itu, yang penting adalah baik dan ada pesan kemanusiaan tersirat: Kasih sayang.

Tidak Terlalu Open

Ini cerita agak personal. Sebenarnya saya tidak terlalu open (berasal dari bahasa sunda, artinya suka memperhatikan hal-hal kecil, telaten dan cermat; huruf "e" diucapkan dengan "e" taling), tidak peduli dan cuek dengan hal-hal seremonial dan simbol angka-angka perayaan. Apalagi, ada angka cantik, tanggal cantik, tanggal horor, dan lain-lain.

Apa pun perayaan itu, termasuk hari ulang tahun saya. Jujur, dari sejak kanak-kanak sampai hari be(gini), tidak pernah dirayakan.

Tiup lilin dan diam sejenak, tahan dan tarik nafas, sembari bisikan sebuah harapan di hati dan pikiran (make a wish), saya belum pernah merasakan suasana seperti itu. 

Bagaimana rasanya ya? Maklum, wong ndeso. Tapi walaupun begitu, tetap saya selalu bersyukur kepada Tuhan, dan wawas diri pada setiap hari ulang tahun kelahiran saya. Dengan tanpa acara apa-apa dan tidak dirayakan.

Makanya, dengan tetap menebar kasih sayang, maafkan saya, jika saya tidak ikut merayakan hari ini secara seremonial, atau dengan acara khusus lewat pernak-pernik, dan simbol-simbol bernuansa hari kasih sayang itu, coklat, atau warna pink dan merah, misalnya. 

Untuk makan coklatnya saya suka.  Tapi, kalau untuk pink, sori, saya kurang suka. Saya kan lelaki sejati.

Kompasiana, Merawat Semangat Sosial Profetik

Saya bergabung dan bisa menulis di Kompasiana, sudah berjalan setahun. Saya merasa bahwa saya kurang produktif menulis dibanding para Kompasianer yang lain yang hebat-hebat itu dan produktif. Saya salut dengan mereka.

Baru 70 tulisan saya di Kompasiana. Ini tulisan saya yang ke-71. Alhamdulillah. Kalau untuk saya, segitu juga sudah lumayanlah.

"Sejatinya menulis itu cinta. Jejaknya tak akan pernah berakhir, sekalipun nafas berhenti."

Walaupun tentu jika dibanding dan bagi para Kompasianer yang sudah senior dan hebat-hebat itu, tidak ada apa-apanya. Jauh ke mana-mana.

Tapi, Semoga, ke depan, slow but sure, saya tambah produktif lagi menulis, berbagi, berkarya dan menginspirasi.

Karena, bukankah sejatinya menulis itu cinta. Jejaknya tak akan pernah berakhir, sekalipun nafas berhenti? Menulislah untuk pesan cinta, kasih sayang, dan kebaikan.

Baca juga: Bersama Kompasiana, Menulis Itu Cinta  

Selama setahun itu di Kompasiana, saya merasakan seperti berada di rumah sendiri. Nyaman dan harmonis. Kompasiana penuh dengan aura kebaikan dan kasih sayang. Kompasiana adalah rumah besar dan megah yang memancarkan kebaikan dan kasih sayang.

Di dalamnya terasa aura kebaikan dan jalinan kasih sayang yang begitu erat dan hangat.

"Keakraban, keramahan, kehangatan, persahabatan, kekeluargaan dan kasih sayang sangat berlimpah dan meruah di rumah Kompasiana ini." 

Tidak berlebihan, kalau saya katakan, Kompasiana sebenarnya adalah rumah yang nyaman yang selalu menumbuhkan dan merawat semangat sosial profetik, terutama pesan kasih sayang itu.

Kasih Sayang dalam Perspektif Agama dan Kemanusiaan

Tentang kasih sayang, yang efektif dan signifikan, sebenarnya kadang tidak terlalu butuh ucapan dan tulisan. Kasih sayang itu yang paling penting praktiknya dalam setiap nafas kehidupan kita. Realisasinya dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari.

Kasih sayang juga sebenarnya tak kenal batas ke siapa, ruang dan waktu. Siapa pun, kapan pun dan di mana pun.

"Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu." -- HR. Abu Dawud dan Timidzi.

Saya dan kita semua sudah mempraktikkannya setiap saat pasti. Kepada pacar (bagi yang sudah punya), istri, anak-anak, sanak famili, saudara-saudara, tetangga, tanaman kita, hewan kesayangan, dan seterusnya.

Rasa kasih sayang itu inheren dan melekat pada diri kita masing-masing secara naluriah. Dan selalu diingatkan oleh diri dan lingkungan kita setiap saat. Maka ironi kalau ada orang tidak berkasih sayang, atau hilang rasa kasih sayangnya.

Saya dan kita, apalagi seorang muslim, setiap saat kita diingatkan untuk selalu memiliki rasa kasih sayang dan menebarkan kasih sayang ini.

"Siapa yang tidak menyayangi, maka tidak disayang." -- Hadis Shahih

Berangkat kerja, keluar rumah, hendak dan bangun tidur, makan, mulai melakukan pekerjaan, apalagi dalam melakukan ibadah kepada Tuhan, selalu melafalkan dan merapalkan kata kasih sayang ini, paling tidak, dalam kalimat Basmalah. Belum lagi, ucapan salam. Selalu meruah kasih sayang.

Maka tidak ada alasan, untuk tidak berkasih sayang dan menebarkan kasih sayang pada sesama. Siapa pun kita, dan ke siapa pun.

Kalau kemudian, misalnya ada orang yang selalu membenci, menebar kebencian, dan kekerasan, berarti dia sedang lupa sebagai manusia dan beragama.

Kalau ada orang seperti itu, dalam Islam, segera disalatkan saja. Karena dia sudah mati rasa. Seakan hidup dalam kematian. Mati sebelum mati. Tidak punya perasaan kasih sayang.

Bahkan, ajaran para Nabi, orang yang sudah tidak punya rasa kasih sayang terbilang sebagai bukan manusia lagi. Tidak pantas disebut manusia lagi. Hewan saja punya rasa kasih sayang.

Makanya, kita berkasih sayang, karena kita manusia, dan kita beragama. Nyatakan selalu sayang pada pasangan kita, paling tidak. Selanjutnya, kasih sayang pada anak-anak kita, keluarga, sesama dan sarwa semesta. Tabik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun