Setiap kepemimpinan atau pemerintahan harus punya program kerja dan target yang harus dicapai, atau direalisasikan. Itu benar.
Makanya ada yang namanya program kerja jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Itu normatifnya.
Dan harus diakui, itu semua masih di atas kertas, atau paling banter, baru berupa gagasan dan narasi. Penting juga. Siapa yang bilang nggak penting.Â
Tetapi yang lebih, dan sangat-sangat penting itu, realisasinya. Dikerjakan atau tidak. Percuma juga kalau sekadar gagasan dan narasi saja, tapi nggak dikerjakan, atau nggak becus kerja.Â
Nonsen itu. Karena orang itu melihat kinerjanya. Hasil kerjanya. Bukan cuma pandai menata kata-kata. Lebih banyak berkata-kata daripada kerja.
Sekali lagi, benar bahwa nggak mungkin kerja tanpa ada program, rencana, dan target. Secara normatif, harus seperti itu. Sesuai dengan yang disebut proses manajemen. Lumrah.
Kalau kemudian ada term "100 hari kerja" untuk melihat dan menakar hasil kerja kepemimpinan, suatu pemerintahan, lembaga, instansi, dan lain-lain apa pun namanya, berhasil atau tidak, adalah sah dan wajar sebagai apresiasi, evaluasi, atau kritik.
Dan istilah "100 hari kerja" juga muncul biasanya saat waktu kampanye saja. Tujuannya adalah membentuk opini, atau pencitraan dalam rangka menaikkan elektabilitas saja.
Sebenarnya tidak relevan dan terlalu terburu-buru juga jika kemudian hanya "100 hari kerja" yang dijadikan tolok ukur keberhasilan atau tidaknya kerja suatu pemerintahan.Â
Apalagi, mengklaim gagal atau harus dirombak susunan kabinet dan me-reshuffle beberapa personal menteri hanya berdasarkan pada kerja di 100 hari atau 3 bulan lebih itu. Terlalu cepat dan terburu-buru itu.
Dalam 100 hari atau 3 bulan itu, biasanya seorang menteri itu masih dalam proses pengenalan lingkungan atau tempat kerja. Di mana ruangannya, bagaimana kursinya, menghafal nama-nama pejabat teras dan karyawannya, dan seterusnya. Biasa ini sebagai adaptasi.
"Nggak ada target 100 hari. Ini kan kita melanjutkan sebelumnya," kata Presiden Jokowi.Â
Kalau memang mau mengevaluasi, mengkritik, atau mengapresiasi kerja pemerintahan, kenapa pula harus menunggu dan berpatokan pada 100 hari kerja?Â
Bukankah sejak hari pertama menjabat pun, atau kapan saja, nyatanya kritik, evaluasi, juga apresiasi boleh disuarakan dan disampaikan? Sekarang itu zamannya keterbukaan.
Atau bukankah pemerintah sendiri, Presiden, Wakil Presiden, para menterinya, dan yang berkepentingan, baik itu seminggu, setengah bulan, atau sebulan sekali, atau mungkin mendadak, paling tidak, selalu mengadakan rapat, ada rapat koordinasi, rapat kabinet, dst. Itu?
Artinya, jangan sampai "100 hari kerja" itu akhirnya menjadi mitos dan sakral yang menjebak kerja-kerja pemerintah. Padahal banyak hal yang harus dikerjakan. Tidak sesederhana yang dibayangkan.Â
Penonton biasanya memang lebih pintar dari pemain. Tidak begitu merasakan dan paham apa yang sebenarnya. Bisanya berteriak-teriak. Melontarkan kritik, tapi tanpa memberikan solusi, apalagi apresiasi.
Maaf, ini bukan berarti adalah corong pemerintah. Bukan. Tapi cobalah berpikir realistis dan rasional. Jangan ikut-ikutan halu, dan terjebak mitos-mitos. Termasuk mitos 100 hari kerja. Berikan kesempatan pemerintah bekerja dengan baik. Bukan begitu, Pak Amien Rais?