Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jangan Terjebak Mitos 100 Hari Kerja

30 Januari 2020   17:11 Diperbarui: 31 Januari 2020   12:12 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (kanan) memimpin rapat terbatas tentang program dan kegiatan bidang politik, hukum dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019).| Sumber: ANTARA Foto/Puspa Perwitasari

Setiap kepemimpinan atau pemerintahan harus punya program kerja dan target yang harus dicapai, atau direalisasikan. Itu benar.

Makanya ada yang namanya program kerja jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Itu normatifnya.

Dan harus diakui, itu semua masih di atas kertas, atau paling banter, baru berupa gagasan dan narasi. Penting juga. Siapa yang bilang nggak penting. 

Tetapi yang lebih, dan sangat-sangat penting itu, realisasinya. Dikerjakan atau tidak. Percuma juga kalau sekadar gagasan dan narasi saja, tapi nggak dikerjakan, atau nggak becus kerja. 

Nonsen itu. Karena orang itu melihat kinerjanya. Hasil kerjanya. Bukan cuma pandai menata kata-kata. Lebih banyak berkata-kata daripada kerja.

Sekali lagi, benar bahwa nggak mungkin kerja tanpa ada program, rencana, dan target. Secara normatif, harus seperti itu. Sesuai dengan yang disebut proses manajemen. Lumrah.

Kalau kemudian ada term "100 hari kerja" untuk melihat dan menakar hasil kerja kepemimpinan, suatu pemerintahan, lembaga, instansi, dan lain-lain apa pun namanya, berhasil atau tidak, adalah sah dan wajar sebagai apresiasi, evaluasi, atau kritik.

Dan istilah "100 hari kerja" juga muncul biasanya saat waktu kampanye saja. Tujuannya adalah membentuk opini, atau pencitraan dalam rangka menaikkan elektabilitas saja.

Sebenarnya tidak relevan dan terlalu terburu-buru juga jika kemudian hanya "100 hari kerja" yang dijadikan tolok ukur keberhasilan atau tidaknya kerja suatu pemerintahan. 

Apalagi, mengklaim gagal atau harus dirombak susunan kabinet dan me-reshuffle beberapa personal menteri hanya berdasarkan pada kerja di 100 hari atau 3 bulan lebih itu. Terlalu cepat dan terburu-buru itu.

Dalam 100 hari atau 3 bulan itu, biasanya seorang menteri itu masih dalam proses pengenalan lingkungan atau tempat kerja. Di mana ruangannya, bagaimana kursinya, menghafal nama-nama pejabat teras dan karyawannya, dan seterusnya. Biasa ini sebagai adaptasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun