Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Profetik Ibrahim, Bapak Monoteisme

11 Agustus 2019   11:52 Diperbarui: 14 Agustus 2019   08:37 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.ikhlasberamalnews.com/

Pertanyaan filosofis, "Apakah benar Tuhan itu ada?" terus menggelayut di pikiran Ibrahim.

Sampai membawanya pada pengembaraan kritis-metafisis. Konflik dengan ayahnya, Azar. Bahkan membenturkannya secara politis dengan penguasa tirani, Raja Namrud, saat itu.

Perjalanan spiritual dan pengalaman beragama Ibrahim: Dari ateis ke monoteis.

Jejak profetik (kenabian) kekasih Tuhan itu melegenda hingga kini. Kisah utusan Tuhan yang sarat pelajaran moral dan pengalaman beragama. Jejak-jejaknya masih kentara, jelas dan membekas. Tak pernah memudar sampai hari ini. Tak lekang dimakan zaman. Abadi sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Sebuah drama kolosal dalam peradaban dunia. Diingat terus sepanjang masa. Selalu dirayakan setiap tahun. Bukti kebesaran dan keagungan Tuhan, Yang Maha Mencipta.

Tatkala Ibrahim yang tidak percaya Tuhan, seorang ateis. Berkelana dengan nalar kritisnya mencari Tuhan.

Tatkala sampai pada puncak pencariannya, menetapkan hati. Ia menghentikan jejak pencariannya, menemukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang harus diyakini. Bertawhid. Percaya dan yakin akan Tuhan yang maha esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Berawal dari ateis menjadi monoteis sejati.

Kisah pengalaman beragama (religious experience) dan perjalanan spiritual (spiritual journey) Ibrahim ini, sekilas hampir serupa dan mengingatkan kita pada sebuah novel filsafat “Hayy Ibn Yaqzan” yang ditulis oleh seorang filsuf muslim, Ibn Thufail.

Tatkala Ibrahim menjalani semacam proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) atau semacam proses verifikasi dari kebenaran dan keteguhan keyakinannya. Sempat dengan nalar kritis dan pemberontakan metafisisnya, ia melawan kepercayaan dogmatis dan politis penguasa tirani Babilonia ketika itu.

Sempat juga ia mendapat ujian keimanan dan keyakinannya yang hakiki lewat sebuah mimpi--yang absurd menurut tolok ukur rasio--berupa perintah menyembelih putranya tercinta, Ismail. Andai saja rencana dan niat itu dilakukan sekarang, maka bisa-bisa berurusan dengan polisi dan dianggap sakit jiwa.

Dan sayangnya, menurut Ibn Arabi dalam Fushus Al-Hikam, kenapa mimpi itu tidak ditakwilkan lebih dulu. Padahal, sejatinya mimpi berada di alam imajinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun