Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bencana Alam: Satire dari Tuhan Akan Kesadaran Lingkungan

2 Januari 2021   00:56 Diperbarui: 2 Januari 2021   00:59 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu geologi menjelaskan bahwasanya fenomena alam seperti : Gempa bumi, Tsunami, Gunung meletus dan sebagainya adalah murni gejala dari siklus alam, namun kali ini saya akan mencoba menjelaskan bencana alam dalam perspektif metafisis, kita lihat apakah dapat di deduksi secara rasionalis artikel saya yang satu ini. 

Suatu bencana alam di artikan oleh kaum tradisionalis sebagai adzab dari Tuhan, lalu tak sedikit dari orang2 modernis (terutama saintis) yang menolak paradigma tersebut, karena menurut mereka (kaum modernis) bencana alam adalah murni karena gejala alam, mungkin ada kaitannya dengan Tuhan, tapi tak berarti itu semua adalah semata-mata hipotesa adzab dari tuhannya (kaum tradisionalis). 

 Saya mulai memasuki dimensi metafisika dan ruang fisika saat ini, dimana paradigma fisika saja tak cukup untuk menjawab semua problematika manusia, maka metafisika-lah yang menambalnya sebagai contoh : Fisika tak dapat menjelaskan secara verifikatif mengenai Masjid yang tak hancur setelah terkena tsunami aceh, maka metafisika-lah yang mengangkat paradigma-nya, bahwa Tuhan memang sengaja menyelamatkan/melindunginya. 

 Perlu diingat bahwa metafisika bukanlah ilmu cocoklogi semata, ia juga memasuki variabel epistemik ketika membahas perihal moral, estetika dan sebagainya. Jadi tak ada salahnya mengatas-namakan paradigma metafisis kedalam ruang lingkup gejala-gejala baik gejala geologis, biologis dll. 

 Kembali ke topik utama yakni lingkungan, sudah banyak kita ketahui, bahwa alam dengan sendirinya memberi nasihat kepada kita untuk melindunginya, baik dari sisi kebencanaan maupun kerusakan lingkungan dan ekosistem. Melihat hal seperti itu, apa yang disebut sebagai enviromental etics atau etika lingkungan mulai kembali menunjukkan esensi keberadaannya, setelah sekian lama tertutup oleh dinamika modern-industrial atau-pun global-kapital. 

 Melihat hal ini, gerakan-gerakan ekologis mulai tumbuh subur karena telah di reboisasi oleh gertakan-gertakan alam, itulah yang membuka mata ummat manusia terhadap bumi yang menjadi rumahnya, manusia-pun sadar akan nasib tempat tinggalnya. 

 Saya mencoba mengaitkan hal-hal enviromentalis ke dalam paradigma metafisis kali ini, dalam metafisika monoteis, Tuhan adalah entitas maha kuasa yang dapat melakukan segalannya, bahkan ia yang membentuk alam semesta yang sedemikian rumitnya hingga ke komponen-komponen DNA. Tentunya, lingkungan maupun segala ekosistem alam juga termasuk ciptaannya, maka pasti konsekuensi logisnya adalah bahwa Tuhan takkan membiarkan ciptaannya hancur begitu saja. 

 Jadilah bencana alam, suatu gejala deterministik alami yang menjadi sebuah dilema besar bagi seluruh ummat manusia, sering dikatakan sebagai kemarahan alam dalam nalar estetika. Nahh, di sini munculah argumen para saintis yang mengatakan bahwa bencana alam tadi adalah gejala biologis alami, tak ada yang membuatnya. 

 Waduuh, wahai kaum saintis-anarkis (atheis), anda semua meremehkan kepintaran Tuhan dalam mengatur segala kejadian ciptaannya, segala esensi daripada alam semesta adalah ciptaannya, jadi kalau sekelas Tuhan, tentunya bisa dong membuat suatu bencana yang dikatakan "alami" oleh hemat manusia, disitulah korelasi antara nalar epistemologis-saintis dengan nalar metafisis-teologis perihal bencana alam. 

 Yang saya sebut satire (sindiran) Tuhan adalah suatu pesan Tuhan yang diselipkan kepada manusia/hambanya melalui fenomena bencana, agar ia menjaga lingkungan yang telah Tuhan ciptakan sebagai tempat tinggalnya. 

 Jadi tak semata-mata kita pasrah oleh bencana alam, tapi kita dapat mencegahnya dengan cara : Membuang sampah pada tempatnya (mencegah banjir), Tak menebang hutan (kebakaran) dan semacamnya, lalu bagaimana dengan gempa tektonik atau vulkanik? Apakah kita dapat mencegahnya?, disitulah peran metafisika dan etika, kita dapat mencegahnya dengan berusaha meneliti kapan terjadi dan juga berdoa kepada yang Maha Kuasa. 

Tetap jaga lingkungan, segeralah sembuhkan kepedulian yang rapuh menggunakan obat empati yang kukuh. 



Terimakasih, menerima kritik dan sarannya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun