Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ruang Akademisi Nasional Hari Ini: Mengutamakan Gelar Ketimbang Nalar

10 September 2020   12:15 Diperbarui: 15 September 2020   20:20 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay/Cparks)

Membicarakan soal akademisi, agak-agaknya teringat terhadap sekolah Plato yang bernama Academia. Plato membuatnya dengan tujuan agar manusia dapat bernalar ria dan melek terhadap ilmu pengetahuan dunia.

Menariknya, Plato tak mempunyai gelar sama sekali semasa hidupnya. Gak ada di sejarah manapun nama Plato bertulis: Prof. Dr. Plato, M.Sc.... ataupun sebagaimana mestinya. Terlihat anekdot memang, ketika saya menganologikan demikian.

Tapi ini menarik. Sejarah kembali mengingatkan kita bahwa tanpa gelar, manusia masih dapat menyumbang nalarnya ke dalam ruang pikiran dunia. Gelar sendiri agak-agaknya mungkin muncul pertama-kali ketika berdiri universitas yang ingin memformalkan sarjananya, atau mungkin bisa dibilang buat estetis aja hehe.

Mengapa saya memilih topik ini adalah kekhawatiran pribadi semenjak dulu di forum diskusi nasional, orang-orang yang katanya pintar (beberapa di antarannya) saya lihat gelar yang lebih ditonjolkan ketimbang nalar.

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh salah satu media diskusi para akademisi, di mana ketika si A (saya tak sebut orangnya) memaparkan argumennya, lalu si B (saya juga menjaga aib orang) justru membalasnya dengan sedikit argumen yang dibanyakkan oleh gelar yang katanya guru besar.

Fenomena seperti ini adalah bentuk matinya kepakaran (dijelaskan oleh buku Tom Nichols) dan hidupnya pergelaran. Lalu hal itu akan menjadi pukulan keras terhadap harga diri pikiran di panggung penalaran. Mengapa demikian? 

Saya tak bermaksud untuk menyudutkan orang-orang bergelar, tentunya itu wajar sebagai apresiasi karena telah menyelesaikan jenjang pendidikan formal. Yang saya kritisi keras adalah orang yang sering menggunakan gelar ketimbang nalar, semata-mata untuk beradu di dalam ruang diskursus akademis.

Sumber gambar: dok. pribadi
Sumber gambar: dok. pribadi
Mungkin bisa saya jelaskan dulu kegunaan gelar dalam kehidupan sehari-hari, sebelum kita lanjut kedalam pembahasan yang lebih mendalam. 

Pierre Bourdieu (1930 - 2002) seorang filsuf Perancis, menjelaskan bagaimana bisa setiap perilaku, perbuatan, sebutan, dan sebagainya (milik manusia), disukai dan dimanfaatkan oleh umat manusia. Hal itu ia masukkan ke dalam konsep bernama modal. Ada modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural.

Saya takkan menguraikan apa yang disebut modal ekonomi (karena pembaca mungkin sudah paham), yang akan saya singgung adalah modal sosial dan modal kultural sahaja.

Pertama, gelar sebagai modal sosial. Adanya gelar dapat menguntungkan kita ketika terjun ke dalam ranah masyarakat luas, karena memberi stimulus kepercayaan akan keahlian kita yang telah diuji oleh intitusi legal-formal.

Kedua, gelar sebagai modal kultural. Bourdieu membaginya ke dalam 3 tahapan yakni:

1. Embodied state (pengetahuan yang mengubah pandangan hidup)
2. Object state (perwujudan pandangan hidup menjadi material)
3. Institutionalized state (legitimasi formal)

Mungkin gelar sendiri sudah dapat dikatakan kompleks apabila diuji menggunakan 3 hal tersebut, tapi kita lebih memasukkan kritik atas penalaran pada pembahasan berikutnya.

Setelah kita mengetahui kegunaan gelar dalam kehidupan, apakah kita juga dapat menggunakannya dalam penalaran?

Tentunya hal itu dapat dikatakan relatif (walau semestinya tidak), karena penalaran seperti yang saya singgung di paragraf pertama hingga ketiga, berasal dari pengetahuan dan kecakapan kita untuk menghadapi suatu persoalan/permasalahan.

Lalu apa yang terjadi apabila gelar lebih diutamakan ketimbang nalar? Maka sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan tak lagi berbasis intelektual, tapi hanya akan mengacu pada substansi-substansi legal dan formal.

Untuk para orang-orang bergelar di indonesia, saya harap nalar tetap diutamakan ketimbang gelar. Sebab dengan nalar lah manusia dapat melewati seleksi alam dan simpang siur pengetahuan hingga saat ini.

Terima kasih. Share bila manfaat, kalau ada salah kata saya mohon maaf, menerima kritik dan sarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun