Mohon tunggu...
muhjoharmaknunarrasid
muhjoharmaknunarrasid Mohon Tunggu... SISWA

Hobi saya nonton film

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gunung di Punggungmu

25 Februari 2025   13:42 Diperbarui: 25 Februari 2025   10:58 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu, langit mendung seolah ikut berduka. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang tak kunjung turun. Di sebuah rumah kecil di ujung kampung, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Ardi duduk termenung di depan meja makan. Di depannya, sepiring nasi dingin dan sepotong ikan asin yang hampir tak tersentuh. Matanya berkaca-kaca, tapi air mata itu tak juga jatuh. Sejak ibunya meninggal setahun yang lalu, Ardi belajar untuk tidak menangis. Ayahnya selalu bilang, "Laki-laki harus kuat."

Ayahnya, Pak Jono, adalah seorang buruh bangunan. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah berangkat kerja dengan sepeda tuanya. Tubuhnya yang kekar dan kulitnya yang gelap terbakar matahari menjadi bukti betapa kerasnya ia bekerja. Pak Jono adalah tulang punggung keluarga, satu-satunya yang menafkahi Ardi setelah istrinya tiada. Meski lelah, ia tak pernah mengeluh. "Asal kamu bisa sekolah dan punya masa depan yang lebih baik, Ayah rela kerja keras," katanya suatu malam sambil mengusap kepala Ardi.

Tapi hidup tak selalu adil. Semakin hari, tubuh Pak Jono semakin kurus. Batuk-batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat. Ardi sering melihat ayahnya menahan sakit, tapi setiap kali ditanya, Pak Jono hanya tersenyum dan bilang, "Ayah baik-baik saja, Nak."

Sampai suatu malam, ketika hujan turun deras, Pak Jono pulang dengan tubuh basah kuyup. Ia langsung terjatuh di depan pintu. Ardi yang sedang belajar terkejut dan berlari menghampiri. "Ayah! Ayah, bangun!" teriaknya panik. Tapi Pak Jono tak bisa bangun. Malam itu, di tengah derasnya hujan, Pak Jono menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Ardi.

Ardi merasa dunia seperti runtuh. Ayahnya, satu-satunya orang yang ia miliki, telah pergi. Ia duduk di samping jasad ayahnya, menatap kosong ke depan. Hujan masih turun, seolah ikut menangisi kepergian Pak Jono.

Beberapa hari setelah pemakaman, Ardi mulai menyadari betapa beratnya hidup ini. Tanpa ayah, ia harus mengurus dirinya sendiri. Tapi di tengah kesedihan itu, ia teringat kata-kata ayahnya: "Jadilah orang yang bermanfaat, Nak. Jangan pernah menyerah."

Ardi pun bangkit. Ia mulai membantu tetangga, mengerjakan pekerjaan kecil-kecilan untuk mendapatkan uang. Meski hidupnya sulit, ia tak pernah lupa untuk tetap sekolah. Setiap malam, sebelum tidur, ia berdoa agar suatu hari nanti ia bisa menjadi orang yang sukses dan membahagiakan ayahnya di surga.

Tahun-tahun berlalu, Ardi tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Ia berhasil meraih beasiswa ke universitas ternama dan lulus dengan predikat cumlaude. Kini, ia bekerja sebagai seorang insinyur dan aktif membantu anak-anak yatim di kampung halamannya.

Di sebuah sore yang cerah, Ardi berdiri di depan makam ayahnya. Ia menaruh seikat bunga dan berkata pelan, "Ayah, Ardi sudah menjadi orang yang bermanfaat seperti yang Ayah inginkan. Terima kasih untuk semua pengorbananmu. Ardi akan terus berjuang, untukmu dan untuk mereka yang membutuhkan."

Angin berhembus pelan, seolah membawa pesan dari Pak Jono: "Ayah bangga padamu, Nak."

Dan di hati Ardi, ia tahu, ayahnya akan selalu hidup dalam setiap langkah dan perjuangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun