Mohon tunggu...
M In am  Esha
M In am Esha Mohon Tunggu... -

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengembangkan Pola Pikir Humanis?

23 Juli 2018   16:34 Diperbarui: 23 Juli 2018   16:57 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: sahabattanahair.id

Dinoyo, 23 Juli 2018. Pada suatu hari ada seorang salik, aspiran sufi, yang hendak sowan kepada seorang mursyid atau guru pembimbing sufi. Sang salik terus berjalan dengan tanpa kenal lelah dengan harapan dapat menimba ilmu dari Sang   Mursyid. Ketika sampai di tempat yang dituju. Apa yang didapatinya benar-benar di luar dugaan. 

Dia ditolak! Dipersilahkan masuk pun tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk melalukan aksi. Bersilalah ia di depan pintu rumah Sang Mursyid. Bersila seharian, tetap  tidak diterima. Hingga sampailah pada hari ketiga, ternyata belum juga diterima.

Akhirnya merasa tidak tahan, Sang Salik berteriak, "Guru...... Mengapa engkau tidak mau menerima murid disaat muridmu memerlukan guru untuk mendapatkan pengertian sebenarnya tentang Tuhan". Dari dalam, Sang Mursyid menimpali, "Engkau tidak akan mengerti, karena engkau tidak ngopeni esensi ke ber-Tuhan-an, melainkan hanya "baju"-Nya Tuhan".

Mendengar jawaban itu Sang Salik pun tercenung mencoba memahami apa yang dimaksudkan Sang Mursyid. Sang Salik pun teringat atas peristiwa beberapa hari lalu.  Ceritanya begini. Dalam perjalanan berhari-harinya, dia pernah bertemu dengan seseorang yang beragama Nasrani. Maka berdebatlah mereka tentang konsep ketuhanan masing-masing. Akhirnya, sebelum mereka berpisah,  Sang Salik mengatakan bahwa "Konsep ketuhanan Anda salah semua, karena kalau anda monotheistik, Tuhan itu satu dan tidak terdiri dari A dan B". 

***

Anekdot di atas setidaknya telah mewakili realitas yang sering dan mungkin akrab di lingkungan sekitar kita. Tentunya dengan perfoma yang berbeda, namun dengan substansi yang sama: dominasi kebenaran. Klaim kebenaran (truth claim). Betapa kita sering bercas-cis-cus dan berargumen mati-matian untuk membela keyakinan kita dan menganggap salah keyakinan  orang lain. Bahkan,  tidak jarang berakhir dengan tindakan-tindakan yang a-humanis, anarkhis, dan brutal.

Tentunya masih terekam dengan baik dalam otak kita berbagai kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Terlepas dari dimensi politisnya, kejadian-kejadian di Ambon dan Maluku, pembakaran buku-buku "kiri", dan atau  fatwa mati terhadap seorang cendekiawan muda,  adalah realitas varian dari apa yang disebut sebagai pengedepanan logika-logika minna wa minkum, The-I-ness andThe Others. Sebuah logika yang menempatkan orang lain sebagai "terdakwa" di hadapan kebenaran yang kita yakini. 

Kita merasa terheran-heran dengan berbagai kejadian tersebut. Terlebih, dengan dukungan sejumlah dalil agama, seringkali menjadi bahan legitimasi bagi perilaku-perilaku  anarkhis dan hegemonik. Atas nama Tuhan, kita telah berbunuhan. Atas nama Tuhan,  sejumlah anak yatim lahir ke bumi. Atas nama Tuhan, ribuan manusia harus rela kehilangan harapan dan cita-citanya. 

Atas nama Tuhan, kebebasan berpikir dikebiri. Atas nama Tuhan, atas nama Tuhan dan atas nama Tuhan...... Banyak lagi atas nama Tuhan nestapa kemanusiaan seolah menjadi hal yang absah dan wajar bagi kehidupan kita. Kalau dalam domain politik kenegaraan ada istilah state is agent of legitimate violence, maka nampaknya agama tidak jauh berbeda dari realitas negara tersebut, bahkan dengan efeknya yang tidak lebih kecil. 

***

Ketika kita berbuat dengan legitimasi "atas nama Tuhan", maka sebenarnya kita telah memberikan "baju" kepada Tuhan sebagaimana yang kita persepsikan. Sayangnya, selama ini, "baju perang" yang sering kita pakaikan kepada Tuhan. Wajah agama pun menjadi sangat menakutkan, seram, dan bergidik kita dibuatnya. Sedikit, sedikit haram. Sedikit, sedikit kafir. Sedikit, sedikit perang, bunuh, dan seterusnya. 

Mungkinkah kita membuat "baju" Tuhan yang lebih humanis demi kepentingan kemanusiaan ke depan? Sebuah "baju" yang membikin kita merasa damai, tentram, penuh senyum, jauh dari perasaan takut, dan jauh dari truth claim. Jawabannya adalah amat sangat mungkin. Dan itu, sangat tergantung pada kemauan dan bagaimana pola berpikir kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun