Mohon tunggu...
Muhimmatul Ulya
Muhimmatul Ulya Mohon Tunggu... Ibu guru, ibu 1 anak, dan penikmat puisi

Masa depan adalah milik orang-orang yang percaya dengan manisnya mimpi mereka..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Batas Senja

20 Februari 2025   18:15 Diperbarui: 20 Februari 2025   18:13 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita yang sedang termangu itu adalah ibuku. Sejak menderita dimensia, tak kutemukan lagi sosoknya yang bijaksana. Dibalik wajahnya yang sudah termakan usia, masih tertinggal gurat wajahnya yang ayu. Kata orang, ibu dahulu adalah bunga desa pada zamannya. Banyak lelaki terpandang yang melamarnya, tetapi pilihannya jatuh kepada ayah. Lelaki yang sampai detik ini tak ada satupun ingatannya ada dalam benakku. Bukan, ayahku tidak meninggal dunia. Dia hanya meninggalkan duniaku bersama ibu. Dan dengan keegoisannya membangun dunianya yang baru.

Kata orang, setelah aku dilahirkan, banyak hal yang berubah. Perubahan yang membawa dampak besar bagi hubungan ibu dan ayah. Ibuku bukan hanya kehilangan tubuh rampingnya. Tapi juga kehilangan orang yang mencintainya. Rambutnya yang indah bergelombang perlahan rontok tak beraturan. Matanya yang lentik alami, dihiasi lingkaran hitam karena begadang menjagaku. Ibuku juga meninggalkan pekerjaanya yang mapan untuk mengabdikan hidup sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga. Katanya, ibu melakukannya dengan bahagia, tetapi bagaimana dengan ayah? Lelaki itu kehilangan cintanya. Katanya, ibuku bukan lagi orang yang sama. Naasnya, laki-laki itu meninggalkan kami demi seorang gadis SMA.

"Lihat Rin, ibu sudah kembali cantik!" kata ibu dengan bersemangat.

Kulihat dia sedang mencoba bajunya yang kedodoran. Bukan bajunya yang kebesaran. Itu baju ibu saat masih gadis. Baju yang dalam bingkai foto terlihat pas di badannya, kini menjadi oversize. Kata dokter yang merawat ibu, selain menderita dimensia, ibu juga menderita anoreksia. Anoreksia adalah semacam penyakit yang menyebabkan ketakutan luar biasa oleh penderitanya dengan makanan. Bagi mereka, makan adalah suatu pantangan. Kecemasan dan kekhawatiran ibu terhadap berat badannya menjadikan ibu menjauhi makanan. Di balik baju yang dikenakannya, terdapat tubuh ringkih yang hanya tinggal tulang-belulang.

"Sebentar lagi, ayahmu akan kembali bersama kita"

Airmataku lolos begitu saja. Aku kehilangan kata-kata. Ibu kehilangan ingatannya, tapi tidak dengan cintanya. Sayangnya, dia jatuh di cinta yang salah. Berpuluh tahun berlalu, nyatanya luka yang ditinggalkan begitu dalam. Sebegitu sakitkah, Bu? Hingga di ujung senja kini, ibu masih mengharapkan sosoknya kembali.

Dulu, banyak orang yang berkata meskipun berat badan ibu bertambah pesat setelah kelahiranku, kecantikan alami itu tetap terpancar pada matanya. Sayangnya, ayah tidak dapat melihatnya. Ia terperangkap dalam dogma 'cantik itu kurus'. Mungkin sejak itulah ibu mulai menjauhi makanan agar tubuhnya bisa seramping gadis dahulu.. 

Ah, Ibu. Kau menang menghadapi banyak pertempuran melawan hidup, tapi kau tak pernah sekalipun mengeluh. Tak pernah sekalipun aku mendengar kau berkeluh kesah tentang ayah. Dengan bodohnya aku mengira keheninganmu adalah tanda bahwa kau sudah melupakan luka itu. Nyatanya, dimensia yang kau derita mengungkap segala lapis rahasia. Luka itu tak pernah sirna. Ibu hanya berusaha menyembunyikannya. 

Sakit karena dihianati oleh orang yang kita cintai nyatanya adalah luka yang tak pernah bisa diobati. Bagi sebagian orang, luka itu menjadi duka seumur hidup. Bisa jadi, bagi mereka yang melangkah maju bukan berarti telah merelakan masa lalu. Di malam-malam yang hening, dalam kebisuan yang mencekam, luka penghianatan itu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui.

Entah sudah berapa lama ibu menahan dukanya.  

"Jangan menangis, Rin. Tidak apa-apa jika ayahmu belum kembali. Jika kelak dia datang, sampaikan padanya ibu menunggunya dalam keabadian"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun