Namun, sesampainya di sekolah, suasana tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda jemputan datang. Andi berdiri kebingungan, gelisah karena tidak ada yang menunggunya.
Saat kebingungan memuncak, salah satu guru menghampirinya. Guru itu bertanya mengapa ia belum pulang. Dengan gugup, Andi menjawab bahwa ia tadi sempat pergi tanpa izin.
Guru tersebut menyarankan agar Andi segera menghubungi orang tuanya. Dengan tangan gemetar, Andi mengambil ponsel dan menekan nomor ibunya. Suaranya lirih saat berkata bahwa ia masih di sekolah dan perlu dijemput.
Tak lama kemudian, ayahnya datang menjemput. Wajah ayahnya terlihat serius, membuat Andi hanya bisa menunduk. Ia sadar konsekuensi dari perbuatannya sudah menunggu.
Setibanya di rumah, ibunya langsung menegurnya dengan tegas. Andi hanya diam, merasakan penyesalan yang menyesak di dada. Ia sadar telah membuat orang tuanya khawatir.
Akhirnya, dengan suara lirih, Andi mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Orang tuanya menasihati agar ia lebih bertanggung jawab. Sejak hari itu, Andi berjanji tidak akan melanggarnya lagi.
Malam harinya, sebelum tidur, Andi membuka tas sekolahnya. Betapa terkejutnya ia menemukan sebuah surat kecil yang diselipkan ibunya: "Nak, Ibu selalu percaya kamu bisa membuat pilihan yang benar. Jangan kecewakan kepercayaan itu." Seketika, air matanya jatuh. Ia sadar, kejutan itu lebih menusuk dari hukuman apa pun.
Alur cerpen "Pergi Tanpa Izin" adalah alur maju (progresif).
Artinya cerita bergerak urutan waktu ke depan, mulai dari Andi pulang sekolah -> pergi ke rumah Eko tanpa izin orang tua -> asyik bermain PlayStation -> lupa waktu dan terlambat kembali -> kebingungan karena tidak dijemput -> ditegur guru dan menelpon orang tua -> dimarahi orang tua di rumah -> mendapat pesan menyentuh dari ibunya.
Ciri alur maju pada cerpen ini:
Tidak ada kilas balik (flashback) ke masa lalu yang panjang. Cerita terus berkembang seiring kejadian-kejadian baru. Waktu cerita berjalan runtut dari awal sampai akhir.