Dampak Adiksi Digital terhadap Kesehatan Mental Remaja
"Hanya scroll TikTok 5 menit kok..."
Lalu tiba-tiba sudah 2 jam berlalu. Tanpa sadar, kepala penuh kecemasan, pikiran jadi kusut, dan hati terasa kosong.
Fenomena ini bukan mitos. Di era digital sekarang, adiksi layar bukan cuma tentang durasi, tapi tentang bagaimana cara kita menggunakannya. Dan yang paling rentan? Remaja. Studi terbaru menunjukkan: remaja yang kecanduan media sosial 2--3 kali lebih berisiko mengalami keinginan bunuh diri.
TikTok, Instagram, dan Algoritma yang Tak Terlihat
Baru-baru ini, muncul gugatan hukum terhadap TikTok dan Instagram. Seorang remaja menggugat dua platform besar ini karena algoritma mereka dianggap mendorong konten ekstrem: tubuh kurus tidak realistis, komunitas pro-anoreksia, dan narasi hidup "sempurna" yang mengganggu kesehatan mental.
Konten-konten ini tidak datang secara acak. Algoritma bekerja seperti cermin semakin lama kamu melihat satu jenis konten, semakin sering itu akan muncul. Dan sayangnya, yang muncul bukan selalu yang sehat.
Kenapa Otak Kita Gampang Terjebak?
Ada beberapa istilah penting yang bisa menjelaskan fenomena ini:
- Doomscrolling
Kebiasaan tanpa sadar menggulir berita buruk, drama, atau konten negatif secara terus-menerus, meskipun itu membuat kita cemas. - Algoritma Beracun
Sistem otomatis yang secara diam-diam menyaring dan menyajikan konten berdasarkan interaksi kita. Sekali kamu tertarik pada satu konten kurus ekstrem atau drama, maka konten serupa akan terus muncul. - FOMO (Fear of Missing Out)
Perasaan tertinggal dari tren, pencapaian teman, atau gaya hidup orang lain. Akibatnya? Kamu jadi membandingkan terus-menerus. - Body Dysmorphia
Kondisi psikologis di mana seseorang melihat kekurangan pada tubuhnya secara berlebihan, meskipun tidak ada masalah medis nyata. Media sosial dan filter memperparah kondisi ini.
Bukti dari Riset
- Riset dari The Guardian (Juni 2025) menunjukkan bahwa adiksi terhadap pola penggunaan layar yang kompulsif meningkatkan risiko pikiran bunuh diri.
- Studi dari Journal of Adolescent Health menyebut bahwa yang paling berbahaya bukan lamanya menatap layar, tapi jenis konten yang diasup dan perilaku kompulsif.
- Kasus hukum terhadap TikTok & Instagram jadi titik penting perdebatan tentang keamanan digital untuk kesehatan jiwa.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Berikut tips sederhana agar media sosial tidak merusak kesehatan mental:
- Kenali Trigger-mu
Perhatikan konten yang bikin kamu gelisah, insecure, atau marah. Unfollow, mute, atau block konten semacam itu. - Batasi Interaksi, Bukan Hanya Durasi
Gunakan aplikasi pembatas sosial media yang bisa mengatur pola pemakaian, bukan hanya jamnya. - Jadwalkan Detox Digital
Misalnya, tanpa layar setiap hari Minggu, atau offline 1 jam sebelum tidur. - Kurasi Feed
Isi timeline-mu dengan akun positif, edukatif, dan inspiratif. Ingat, kamu punya kontrol penuh. - Cerita ke Orang Terpercaya
Kalau sudah terlalu penat, cerita ke orang terdekat atau profesional bisa jadi penyelamat.
Penutup
Scrolling boleh, update story juga boleh. Tapi sadarilah: setiap tap dan swipe bisa memengaruhi mood dan persepsimu tentang diri sendiri. Media sosial adalah alat. Gunakan untuk membangun, bukan menjatuhkan. Karena di ujung jempol itu, ada mental yang harus kamu jaga.
Kamu suka artikel ini? Yuk, share ke teman-temanmu dan bantu sebarkan kesadaran digital sehat. Atau tulis pengalamanmu di kolom komentar  siapa tahu bisa jadi awal dari pemulihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI