Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karel Sadsuitubun: Kisah Bhayangkara Sejati yang Gugur di Tragedi G30S 1965

30 September 2025   22:48 Diperbarui: 30 September 2025   23:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karel Sadsuitubun (wikimedia commons) 

Sejarah Indonesia tidak hanya ditulis oleh para jenderal, politisi besar, atau tokoh terkenal yang sering muncul dalam buku pelajaran. Ada pula sosok sederhana, dengan pangkat rendah, namun keberaniannya melampaui banyak orang. 

Salah satu dari mereka adalah Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Sadsuitubun, seorang putra Maluku Tenggara yang gugur dalam tragedi Gerakan 30 September 1965. Meski tidak pernah menjadi pusat perhatian, namanya kini tercatat sebagai Pahlawan Revolusi, satu-satunya anggota kepolisian yang mendapat kehormatan tersebut.

Lahir dari Tanah Maluku

Karel lahir pada 14 Oktober 1928 di Tual, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Ia berasal dari keluarga sederhana. Sejak kecil, ia hidup dalam suasana keterbatasan, namun semangatnya besar. Pendidikan formalnya tidak panjang, tetapi ia memiliki tekad kuat untuk mengabdi. Saat itu, Indonesia baru saja merdeka, dan kebutuhan akan aparatur negara masih sangat besar. Karel kemudian memilih bergabung dengan kepolisian, bukan sekadar untuk bekerja, tetapi untuk memberi arti bagi hidupnya sebagai bagian dari bangsa yang baru lahir.

Sebagai seorang bhayangkara, Karel ditempatkan di berbagai daerah konflik. Ia ikut menjaga ketertiban di masa-masa penuh gejolak. Di sinilah kepribadiannya terbentuk, seorang anak Maluku yang keras, berani, tetapi juga setia pada tugas.

Jejak Perjuangan di Medan Konflik

Nama Karel jarang terdengar dalam narasi besar sejarah nasional. Namun sebenarnya, ia telah melewati banyak palagan penting yang menjadi bagian dari perjalanan Indonesia mempertahankan kedaulatan.

Pertama, ia ditugaskan di Aceh untuk menghadapi pemberontakan DI/TII yang dipimpin Daud Beureueh. Konflik ini bukan perkara mudah, karena kelompok bersenjata itu memanfaatkan kondisi sosial yang rumit. Di sana, Karel belajar bahwa pengabdian polisi tidak hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga menjaga keutuhan bangsa.

Setelah itu, ia dikirim ke Sumatera Barat dalam operasi melawan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada akhir 1950-an. Lagi-lagi, ia berada di garis depan, menghadapi sesama anak bangsa yang berbeda haluan politik. Karel menunjukkan keberanian, walau nyawanya selalu terancam.

Karel juga ikut dalam Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda. Dalam operasi itu, ia kembali membuktikan kesetiaan pada republik. Dari Aceh, Sumatera Barat, hingga Papua, jejaknya menandai garis panjang pengabdian seorang polisi yang tidak kenal lelah.

Malam Kelam 30 September 1965

Kisah heroik Karel mencapai puncaknya pada malam 30 September 1965. Kala itu, ia mendapat tugas menjaga rumah Wakil Perdana Menteri Dr. Johannes Leimena di Jakarta. Tugasnya sederhana: memastikan keamanan seorang pejabat tinggi negara.

Namun takdir berkata lain. Dini hari 1 Oktober, pasukan bersenjata yang kemudian diketahui sebagai bagian dari Gerakan 30 September (G30S/PKI) datang untuk menculik para jenderal. 

Pasukan penculik yang bergerak pada malam 30 September 1965 sebenarnya salah sasaran. Awalnya mereka mengira rumah Dr. Johannes Leimena adalah kediaman Jenderal A.H. Nasution. Kesalahan itulah yang kemudian menuntun mereka mendatangi rumah yang dijaga oleh Karel Sadsuitubun.

Ada cerita malam itu, Karel sedang mendapat giliran tidur di pos jaga, sementara rekan-rekannya berada di lokasi berbeda. Sekitar pukul tiga dini hari, dua orang pasukan penculik menghampiri pos dan membangunkan Karel yang tengah tertidur lelap. Awalnya Karel mengira dirinya sedang diganggu kawan-kawannya sendiri. 

Sambil setengah sadar, ia marah-marah, meminta agar tidak diganggu karena sedang beristirahat. Namun, tendangan keras yang berulang kali diterimanya membuat Karel terbangun penuh. Saat itulah ia sadar bahwa yang ada di depannya bukan kawan, melainkan pasukan bersenjata.

Dengan sigap, Karel bangkit melompat dan menghadang para penculik. Pertarungan tak seimbang pun terjadi: seorang Karel berhadapan dengan delapan orang anggota Cakrabirawa bersenjata lengkap. 

Ada pula ceritanya Karel, yang kala itu berjaga, tidak lari. Ia menghadapi mereka seorang diri. Senjata yang dimilikinya sederhana, tetapi tekadnya bulat. Ia melepaskan tembakan, berusaha menghalau pasukan penculik yang jumlahnya jauh lebih banyak. Baku tembak pun terjadi. Tubuh Karel akhirnya roboh diterjang peluru, namun perlawanan singkatnya cukup untuk mengacaukan rencana para pemberontak.

Tubuhnya jadi bulan-bulanan, namun ia tetap melawan dengan keberanian luar biasa. Hingga akhirnya, rentetan tembakan menembus tubuhnya. Karel gugur di tempat, menjadi saksi sekaligus korban dari malam kelam yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI.

Di sinilah letak keistimewaan Karel. Ia bukan target utama, bukan pula perwira tinggi. Namun ia memilih berdiri, melawan, dan gugur. Keputusannya membuatnya dikenang sebagai simbol keberanian seorang bhayangkara.

Penghormatan dan Gelar Pahlawan Revolusi

Setelah peristiwa itu, jenazah Karel dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepadanya. Ia menjadi satu-satunya polisi dalam daftar itu, sejajar dengan enam perwira tinggi Angkatan Darat yang gugur di Lubang Buaya. Karel Sadsuitubun juga tercatat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pertama yang berasal dari kepolisian. 

Nama Karel kemudian diabadikan di berbagai tempat. Bandara di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, diberi nama Bandara Karel Sadsuitubun. 

Bahkan TNI AL menamai salah satu kapal perangnya KRI Karel Sadsuitubun (356). Semua ini menjadi tanda bahwa pengorbanan seorang polisi berpangkat rendah bisa begitu besar maknanya bagi bangsa.

Banyak jalan di berbagai kota Indonesia memakai nama Karel Sadsuitubun sebagai bentuk penghormatan. Namun, masih sering ditemukan penulisan yang kurang tepat, misalnya dengan menyingkat menjadi "S. Tubun". Padahal, penyingkatan seperti itu justru menghilangkan makna aslinya.

Dalam budaya Maluku, Sadsuitubun bukan sekadar nama tengah, melainkan nama marga atau nama keluarga yang menunjukkan asal-usul kekerabatan. Menyingkatnya menjadi "S. Tubun" sama saja dengan menghapus identitas penting yang melekat pada sosok pahlawan ini. Oleh sebab itu, penulisan yang benar sebaiknya tetap Karel Sadsuitubun, agar masyarakat luas mengetahui bahwa beliau adalah putra Maluku Tenggara yang mengharumkan bangsa melalui pengorbanannya.

Contoh penyingkatan nama kurang tepat, Jalan Karel Sadsuitubun Cirebon. (Foto: Ony Putra/detik.com) 
Contoh penyingkatan nama kurang tepat, Jalan Karel Sadsuitubun Cirebon. (Foto: Ony Putra/detik.com) 

Pesan dari Sosok Sederhana

Apa yang membuat kisah Karel begitu menyentuh? Bukan hanya karena ia gugur ditembak, tetapi karena ia menunjukkan bahwa patriotisme tidak mengenal pangkat atau posisi. Ia bukan jenderal, bukan tokoh politik, bahkan namanya tidak banyak dikenal sebelum tragedi G30S. Namun ia membuktikan bahwa keberanian seorang biasa bisa meninggalkan jejak luar biasa.

Karel memberi pelajaran bahwa setiap tugas, sekecil apa pun, bisa menjadi ladang pengabdian. Seandainya ia memilih bersembunyi malam itu, mungkin namanya tidak pernah tercatat. Tetapi ia memilih setia pada sumpah bhayangkara: melindungi dan mengayomi, meski harus mengorbankan nyawa.

Hari ini, kisah Karel Sadsuitubun menjadi inspirasi, khususnya bagi generasi muda dan anggota kepolisian. Ia membuktikan bahwa pengabdian tidak perlu menunggu jabatan tinggi. Selama ada niat tulus dan keberanian, siapa pun bisa menjadi teladan.

Generasi sekarang mungkin tidak lagi menghadapi perang atau pemberontakan. Namun tantangan zaman tetap ada: korupsi, narkoba, radikalisme, hingga konflik sosial. Semua itu membutuhkan keberanian moral dan integritas. Dan dari Karel, kita belajar bahwa keberanian terbesar adalah berani setia pada bangsa, bahkan dalam keadaan paling sulit.

Penutup

Sejarah sering kali mengingat nama besar, tetapi kadang melupakan mereka yang sederhana. Namun, Karel Sadsuitubun membuktikan bahwa pengabdian tulus tidak pernah hilang ditelan waktu. Ia lahir sebagai anak desa di Maluku Tenggara, bertugas sebagai polisi berpangkat rendah, lalu gugur sebagai pahlawan nasional.

Namanya kini abadi, bukan hanya pada bandara, jalan, atau kapal perang, tetapi dalam hati bangsa Indonesia. Ia adalah simbol bahwa keberanian sejati lahir dari kesetiaan pada tugas, tanpa pamrih, tanpa menimbang untung rugi.

Karel Sadsuitubun mungkin seorang "biasa," tetapi keberaniannya menjadikannya luar biasa. Ia meninggalkan pesan abadi: bahwa siapa pun bisa menjadi pahlawan, asalkan tak gentar berdiri demi martabat tanah air.

Referensi

Hitipeuw, F. (1980). Karel Sadsuitubun. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Repositori Kemdikbud. https://repositori.kemdikbud.go.id/8335/

Erilia, Erika. (20 September 2023). Biografi KS Tubun: Tokoh Pahlawan Revolusi yang Gugur saat G30S. Tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/biografi-ks-tubun-tokoh-pahlawan-revolusi-yang-gugur-saat-g30s-gwg3?

Tempo.co. (15 September 2023). Kisah KS Tubun di Malam G30S, Satu-satunya Polisi Pahlawan Revolusi. Tempo.co. Diakses dari: https://www.tempo.co/politik/kisah-ks-tubun-di-malam-g30s-satu-satunya-polisi-pahlawan-revolusi-132543

IndonesiaDefense.com. (10 September 2020). Mengenal Sosok Pahlawan Polisi Pertama: Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Sadsuitubun. Indonesia Defense. Diakses dari: https://indonesiadefense.com/mengenal-sosok-pahlawan-polisi-pertama-ajun-inspektur-polisi-dua-anumerta-karel-sadsuitubun/

Merdeka.com. (2023). Profil Karel Satsuit Tubun. Merdeka.com. Diakses dari: https://www.merdeka.com/profil/karel-satsuit-tubun

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun