Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggali Kembali Kearifan Tradisi: Antara Mitos, Alam, dan Krisis Ekologis di Indonesia

19 September 2025   21:52 Diperbarui: 19 September 2025   22:01 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hutan ditebang, menampilkan pertentangan alat berat berhadapan dengan kearifan lokal penjaga pohon . (ilustrasi by AI ChatGPT Dok. Pribadi)

Di Indonesia, tradisi sering kali hanya tersisa dalam bentuk simbolik: kostum karnaval, atraksi wisata, atau sekadar properti di film horor. Padahal, bagi masyarakat adat, tradisi bukan sekadar tontonan atau hiburan, melainkan kompas hidup. Apa yang kini sering dicap sebagai "mistis" sejatinya adalah bahasa simbolik untuk menjaga harmoni dengan alam.

Fenomena seperti kesurupan massal atau cerita tentang pohon besar yang enggan ditebang sebetulnya bukan sekadar keanehan. Bisa dibaca sebagai cara alam memberi sinyal: ada yang tidak beres dalam hubungan kita dengannya. Sayangnya, modernitas lebih sering menertawakan atau menakut-nakuti hal itu ketimbang memaknainya.

Kalau mau jujur, sains modern justru mulai menemukan apa yang sudah lama dipercaya pengetahuan adat. Riset Susan Simard misalnya, menunjukkan bahwa pohon bukan makhluk pasif. Mereka bisa berkomunikasi, berbagi nutrisi, bahkan saling merawat melalui jaringan akar dan jamur. 

Bukankah ini mirip dengan kearifan lama yang selalu menekankan bahwa alam adalah sistem hidup yang punya etika dan suara sendiri?

Memang pada zaman dulu, leluhur memang sering menyampaikan pesan lewat mitos dan kisah yang bernuansa mistik/disakralkan. Itu bukan tanpa alasan, karena pada waktu itu (mungkin sekarang  juga ada yang masih) masyarakat lebih mudah percaya dan takut, mempermudah penyampaian dan memahami terutama terkait kelestarian alam. 

Misalnya, larangan menebang pohon tertentu, mitos tentang sungai angker, atau cerita tentang roh penjaga hutan, semuanya menyimpan pesan ekologis agar manusia tidak sembarangan merusak. 

Sayangnya, perkembangan zaman membuat banyak orang kini hanya memahami mitos itu secara mentah-mentah, sekadar sebagai cerita menakutkan atau takhayul belaka. Lebih parah lagi, ada kecenderungan untuk mengabaikan sama sekali pesan yang terkandung di dalamnya. 

Akibatnya, tradisi yang seharusnya menjadi pengingat justru dianggap penghalang, lalu dibabat habis tanpa sempat kita gali apa maksud dan tujuannya.

Inilah titik di mana kita belajar bahwa logos (rasio) dan mitos (kebijaksanaan simbolik) seharusnya berjalan berdampingan. Logos memberi arah praktis: bagaimana membangun jembatan, mengelola hutan, atau menciptakan teknologi. 

Sementara mitos memberi makna: mengapa semua itu perlu dilakukan dengan hati-hati, penuh hormat, dan tidak merusak keseimbangan. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun