Hati-Hati Penyusup Mengacaukan Tuntutan Rakyat
Belakangan hari ini, aksi demonstrasi di Indonesia jadi sorotan. Banyak orang turun ke jalan dengan tuntutan yang jelas. Namun sayangnya, di tengah barisan massa yang ingin menyuarakan aspirasi, sering muncul kerusuhan yang tiba-tiba pecah. Media pun cepat melabeli aksi itu sebagai anarkis. Pertanyaannya, benarkah semua kekacauan itu berasal dari demonstran murni? Atau justru ada pihak lain yang sengaja masuk untuk merusak wajah gerakan rakyat?
Beberapa analisis menyebut, ada pola yang tidak biasa. Komentar-komentar di media sosial terlihat seragam. Kerusuhan yang muncul pun seringkali terjadi di momen yang "tepat" seolah-olah sudah direncanakan. Dari situlah muncul dugaan, ada penyusup yang sengaja diturunkan agar demonstrasi kehilangan legitimasi.
Penyusup ini jumlahnya tidak sedikit. Mereka hadir terorganisir, bukan asal datang. Ada yang membawa perlengkapan tertentu, ada pula yang sengaja memicu keributan di saat perhatian aparat terpecah. Akibatnya, sulit membedakan mana demonstran yang sungguh-sungguh menyuarakan tuntutan, dan mana yang datang dengan niat mengacau.
Kasus pembakaran halte misalnya. Secara teknis, halte modern terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Namun, dalam beberapa aksi, kita melihat halte bisa ludes habis dilalap api hanya dalam waktu singkat. Logika sederhana mengatakan: itu tidak mungkin terjadi tanpa bahan bakar tambahan. Padahal massa biasa umumnya hanya membawa spanduk, poster, atau air mineral. Jadi wajar jika muncul kecurigaan, ada skenario pembakaran yang memang sudah disiapkan sebelumnya.
Bukan hanya itu. Belakangan muncul kabar tentang penjarahan rumah tokoh tertentu saat demo berlangsung. Aneh rasanya jika rumah pejabat yang biasanya dijaga ketat bisa dengan mudah dijarah. Bahkan ada isu koordinasi lewat grup khusus di aplikasi pesan singkat. Kalau benar demikian, maka ini bukan lagi amukan massa spontan, melainkan operasi yang jauh lebih terencana.
Selain di jalanan, pola penyusupan juga terasa di ruang digital. Ribuan komentar dengan kalimat seragam muncul secara bersamaan, menyudutkan demonstran sebagai perusuh. Narasi itu kemudian diperkuat algoritma media sosial sehingga mendominasi linimasa. Akibatnya, opini publik pun terbentuk: seolah-olah gerakan rakyat memang brutal. Padahal, bisa jadi kerusuhan hanya ulah segelintir pihak yang menyusup.
Strategi ini sederhana tapi mematikan. Begitu publik kehilangan simpati, tuntutan rakyat ikut tenggelam. Pemerintah atau pihak berkuasa pun lebih mudah menolak dialog dengan alasan massa sudah terbukti anarkis. Media pun lebih sibuk memberitakan kerusuhan daripada membahas akar masalah yang diperjuangkan rakyat.
Dalam kondisi itu, siapa yang paling diuntungkan? Jelas bukan masyarakat yang turun dengan niat tulus. Sebaliknya, pihak-pihak tertentu bisa mendapat banyak keuntungan: legitimasi untuk tindakan represif, pengalihan sorotan publik, hingga peluang bisnis dari proyek keamanan dan.
Pada akhirnya, pola ini menunjukkan bahwa demonstrasi tidak selalu berjalan apa adanya. Suara rakyat sering dibajak, wajah gerakan sengaja dikacaukan, dan yang rugi tetap masyarakat biasa.