Belakangan ini, dunia maya diramaikan dengan perbincangan hangat mengenai musik Indonesia yang begitu digemari oleh masyarakat Malaysia. Fenomena ini mencuri perhatian karena jumlah musisi Indonesia yang manggung di Malaysia terbilang sangat banyak, sementara musisi Malaysia sendiri jarang mendapat tempat di panggung Indonesia. Bahkan, konser-konser artis Indonesia di Kuala Lumpur sering dipadati penonton lintas negara.
Perbincangan itu ramai setelah akun @kay_izwan di media sosial Threads mempertanyakan alasan mengapa musisi Indonesia begitu dominan di Malaysia, sementara sebaliknya tidak terjadi. Pertanyaan ini menyingkap sebuah fenomena besar: musik Indonesia ternyata telah menjadi soft power yang mampu menembus batas negara dan budaya.
Contoh terbaru datang dari band Fourtwnty bersama Charita Utami lewat lagu Mangu. Lagu ini mencetak sejarah dengan berhasil menembus Top 10 Spotify Global, menjadikannya lagu Indonesia pertama yang mencapai posisi bergengsi tersebut. Ini bukan hanya pencapaian personal, melainkan juga tonggak penting yang menegaskan eksistensi musik Indonesia di panggung global.
Sebelum itu, ada pula nama NIKI, penyanyi asal Indonesia yang sukses bersinar di kancah internasional. Lewat lagu You'll Be In My Heart, ia sempat menembus posisi #20 Spotify Global dan kini lagunya sudah diputar hampir 200 juta kali. Sejak bergabung dengan 88rising, NIKI berhasil mengumpulkan lebih dari 4,4 miliar streams di Spotify, angka tertinggi sepanjang sejarah musisi Indonesia. NIKI menunjukkan bahwa musik Indonesia bukan hanya mampu diterima di Asia Tenggara, tetapi juga di pasar Barat yang sangat kompetitif.
Tak berhenti di situ, Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahkan menegaskan bahwa musik adalah bagian penting dari kebudayaan yang bisa membangun identitas bangsa. Dalam pembukaan AMI Awards 2025, ia menyampaikan bahwa banyak negara di dunia sudah menjadikan musik sebagai soft power untuk memperkenalkan budaya mereka. "Di berbagai belahan dunia, orang-orang mempromosikan musik sebagai bagian dari soft power mereka."
Ia berharap, ekosistem musik Indonesia bisa semakin hidup, belajar dari keberhasilan industri film Indonesia yang kini produktif dan mulai mampu bersaing dengan produk luar negeri. Jika film sudah menjadi "tuan rumah di negeri sendiri", musik juga semestinya bisa mengambil peran yang sama, bahkan lebih luas lagi, karena musik tak kenal bahasa dan bisa menyentuh hati siapa saja.
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Sejak awal 2000-an, band-band Indonesia seperti Sheila on 7, Peterpan, Dewa 19, hingga Ungu sudah lebih dulu mendominasi radio-radio Malaysia, Singapura, bahkan Thailand. Album fisik mereka laris manis, dan lagu-lagu mereka jadi soundtrack kehidupan anak muda di Asia Tenggara. Kini, meski era kaset dan CD telah berlalu, hadirnya platform digital seperti Spotify, YouTube, Instagram Reels, dan TikTok membuka jalan baru bagi musisi Indonesia untuk menembus batas lebih jauh lagi.
Data Global Music Report (IFPI, 2023) bahkan mencatat bahwa Asia Tenggara adalah kawasan dengan pertumbuhan pendengar musik streaming tercepat di dunia. Ini jelas peluang emas bagi musik Indonesia.Â
Banyak negara sudah membuktikan kekuatan musik sebagai strategi branding. Amerika Serikat mengekspor budaya lewat jazz, rock, hip-hop, hingga pop yang mendominasi radio dunia selama puluhan tahun. Inggris dengan Britpop dibumbui kultur sepak bolanya, Korea Selatan lebih baru lagi, dengan K-Pop yang lahir dari strategi terencana pemerintah, industri kreatif, dan teknologi hingga menjelma simbol modernitas sekaligus diplomasi budaya.
Indonesia pun punya peluang serupa. Dari panggung ASEAN hingga Spotify Global, musik Indonesia kian menunjukkan daya tariknya sebagai soft power yang segar, kreatif, dan relevan di mata dunia.