Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Derita Tanah Subur

22 Agustus 2025   01:53 Diperbarui: 22 Agustus 2025   06:53 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by AI (Dok. Pribadi)

Di masa ketika bumi nyaris tandus, hanya sedikit tanah yang masih mampu menumbuhkan kehidupan. Tanah bukan lagi sekadar pijakan, melainkan nyawa yang diperebutkan. Orang rela saling perang demi segenggam lahan yang masih subur.

Pak Andi tahu benar itu. Ia memiliki sebidang tanah yang masih bisa ditanami padi dan jagung. Warisan leluhur yang kini menjadi rebutan. Bersama istrinya, Melly, serta dua anaknya, Joey dan adiknya yang baru berumur lima tahun, mereka menjaga ladang itu bagai menjaga jantung kehidupan.

Pagar listrik dipasang mengelilingi ladang. Kamera CCTV mengintai dari setiap sudut. Drone berputar di langit, memastikan tak ada yang berani menginjakkan kaki sembarangan. "Tanah ini bukan hanya harta," kata Pak Andi suatu kali, "tanah ini hidup kita."

Joey, anak sulungnya yang berusia tujuh belas, sudah cukup besar untuk diberi tanggung jawab. Ia menjaga pagar, meronda malam hari, bahkan kadang ditugasi melakukan barter dengan ladang lain: jagung ditukar beras, atau sayur ditukar garam.

Suatu pagi, dalam perjalanan barter, Joey melihat seorang pemuda sebayanya duduk di tepi sungai, memancing dengan wajah tenang. Tak ada pagar, tak ada drone, hanya riak air dan angin yang berhembus bebas. Joey berhenti, matanya terpaku. Seumur hidup ia nyaris tak pernah melihat orang lain hidup tanpa beban menjaga tanah.

"Hei," sapa Joey.
Pemuda itu menoleh, tersenyum ramah. "Mau ikut mancing?"

Joey mendekat. Obrolan mengalir begitu saja. Pemuda itu bercerita tentang alam bebas, tentang perjalanannya, tentang bagaimana ia bisa tidur di mana saja tanpa perlu cemas. Joey terpesona. Rasanya seperti menelan udara segar setelah lama terkurung di ruang sempit.

Entah apa yang mendorongnya, Joey mengajak pemuda itu pulang ke ladangnya. Ia merasa orang ini aman, bersahabat, tidak neko-neko. Padahal, orang tuanya selalu berpesan: "Jangan pernah biarkan orang asing masuk ke tanah kita."

Saat Melly melihat ada orang lain melangkah ke pekarangan, wajahnya berubah tegang. Ia hampir saja mengangkat senjata, hendak menghabisi tamu asing itu. Namun Joey berdiri melindungi, menahan ibunya.
"Dia baik, Bu. Dia temanku," katanya dengan mata memohon.

Pak Andi tak percaya begitu saja. Ia mengusir pemuda itu dengan nada keras. Tapi di malam berikutnya, ketika keluarga sibuk berjaga, Joey justru memilih pergi, mengikuti temannya. Ia ingin merasakan kebebasan, hidup tanpa pagar listrik, tanpa drone, tanpa ketakutan. 

Sore menjelang malam itu langit gelap mendung mau hujan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun