Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dulu Jepang Pernah Belajar dari Indonesia, Kini Indonesia Harus Belajar dari Jepang

12 Juni 2025   00:09 Diperbarui: 13 Juni 2025   08:11 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir bersama dengan Presiden JFA Tashima Kohzo (Dok. JFA) 

Pada 1960-an, mereka mengirim delegasi ke Jerman Barat untuk mempelajari rahasia kesuksesan tim Jerman di Piala Dunia 1954. Mereka tak gengsi berguru, karena sadar bahwa untuk maju, perlu meniru yang terbaik. Hasilnya langsung terasa. Jepang tampil di Olimpiade Tokyo 1964, dan tak lama kemudian, mendirikan Japan Soccer League (JSL) sebagai tonggak awal sistem kompetisi nasional.

Logo J.League Soccer (J.League.co) 
Logo J.League Soccer (J.League.co) 

Visi mereka sangat jelas: liga adalah fondasi masa depan sepak bola. Maka pada 1980-an, JSL mulai bertransformasi menjadi liga semi-profesional. Mereka membenahi manajemen klub, meningkatkan standar pertandingan, dan perlahan menarik sponsor besar masuk.

Yang menarik, dalam proses reformasi JSL ini, JFA (Japan Football Association) tidak hanya melihat ke Eropa. Mereka juga belajar dari Indonesia. Ya, Galatama---liga semi-profesional Indonesia yang berdiri sejak 1979---menjadi salah satu referensi penting. Saat itu, Galatama sudah mempekerjakan pemain asing, memiliki struktur manajemen yang modern, dan berani membuka diri terhadap dunia luar. Sebuah ironi, mengingat kini kita justru tertinggal jauh.

Berbekal ilmu dari berbagai penjuru, JSL terus tumbuh. Investasi mulai mengalir, pemain asing mulai berdatangan, dan publik mulai terlibat. Hingga pada 1993, Jepang meluncurkan J.League, liga profesional penuh yang mengadopsi model Bundesliga, dengan klub-klub berbasis perusahaan di setiap prefektur.

Inilah tonggak sejarah: dari permainan pegawai kantor, sepak bola Jepang menjelma menjadi kekuatan profesional yang disegani. Semua dimulai dari satu langkah sederhana: keberanian untuk belajar dan kemauan untuk berubah.

Jepang Pernah Berguru ke Indonesia

Pada akhir 1980-an, Jepang belum menjadi kekuatan sepak bola seperti sekarang. Klub-klubnya masih semiprofesional. Pemain diambil dari pegawai perusahaan. Matsushita, cikal bakal Gamba Osaka, adalah contohnya. Mereka belum memiliki sistem kompetisi yang mapan seperti hari ini.

Dalam masa-masa transisi itu, Jepang mengirim delegasinya ke Indonesia. Mereka belajar dari Galatama. Liga Sepak Bola Utama Indonesia yang berdiri sejak 1979. Galatama saat itu merupakan liga semi-profesional pertama di Asia. Klub seperti Arseto Solo, Krama Yudha Tiga Berlian, dan Pelita Jaya dikenal berani mengontrak pemain asing dan menerapkan manajemen klub yang modern.

Klub Arseto Solo yang bermain di Galatama (Dok. Facebook Arseto Solo) 
Klub Arseto Solo yang bermain di Galatama (Dok. Facebook Arseto Solo) 

Legenda Indonesia, Ricky Yacobi, adalah saksi sejarahnya. Dalam wawancaranya dengan Jawa Pos, ia menyebut bahwa delegasi Jepang secara khusus mempelajari sistem pembinaan usia dini, manajemen klub, serta cara Galatama menjalin kemitraan dengan perusahaan.

Jepang tidak hanya mencatat, mereka mengadaptasi. Pada 1993, Jepang meluncurkan J-League sebagai liga profesional penuh. Tapi mereka tak berhenti di situ. Mereka membuat Grand Design pembangunan sepak bola selama 100 tahun dengan target menjuarai Piala Dunia pada 2092. Fantastis, namun terencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun