Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Seni

Sanggar Wayang Marwanto: Menyungging Asa di Atas Kulit Kerbau

7 Mei 2025   13:03 Diperbarui: 10 Mei 2025   14:29 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sanggar Wayang Marwanto (sumber: Instagram/sanggarwayangmarwanto) 

Sanggar Wayang Marwanto bukan sekadar tempat produksi wayang. Di balik bangunan sederhana dan ruang produksi berukuran 5x3 meter itu, berlangsung proses pendidikan yang sangat berharga. 

Di sinilah murid-murid belajar bukan hanya menyungging wayang gaya Surakarta, tapi juga disiplin, kerja sama, rasa hormat, dan tanggung jawab.

Dalam pembelajarannya, Pak Marwanto menerapkan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. 

Muridnya diajari mengenal anatomi wayang, warna, motif, serta karakter tokoh pewayangan. Mereka juga praktik langsung menyungging dari tahap awal seperti mutihi (pemberian warna dasar), mulas (pulasan warna), isen-isen (ornamen detail), hingga mrodo (penempelan prodo emas). Semua dilakukan manual dengan tangan.

mulas wayang (Dok.Pribadi via Nur Alvi)
mulas wayang (Dok.Pribadi via Nur Alvi)

Tak hanya itu, suasana sanggar dibuat seperti rumah kedua. Murid atau kru nya dianggap seperti keluarga. Tidak ada tekanan, tidak ada bentakan. Bila ada kesalahan, diselesaikan bersama. Saat istirahat, mereka berdiskusi di pendopo atau gazebo, membahas warna, motif, atau sekadar bertukar cerita.

Warisan yang Tidak Mudah

Menjadi pengrajin sungging bukan perkara gampang. Dibutuhkan kesabaran, ketelitian, dan ketekunan tinggi. Butuh waktu 10--14 hari untuk menyelesaikan satu wayang dengan kualitas tinggi. Tidak semua orang bisa tahan, apalagi di zaman serba instan ini.

Pak Marwanto mengakui, tantangan utamanya adalah regenerasi. Minat anak muda semakin kecil, dan pekerjaan ini tidak menjanjikan kemewahan. Namun ia tidak menyerah. Hingga hari ini, sudah tiga generasi pengrajin pernah belajar di sanggarnya. Beberapa murid kini telah mandiri dan membuka pesanan sendiri. Meski perlahan, ia percaya: selagi masih ada satu orang yang mau belajar, warisan ini belum mati.

Kolaborasi Tradisi dan Digital

Yang menarik, Sanggar Wayang Marwanto juga tidak anti teknologi. Marwanto dan murid-muridnya aktif memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan hasil karya. Mereka punya akun Instagram dan Facebook (@sanggarwayangmarwanto), di mana proses pembuatan wayang hingga hasil akhirnya didokumentasikan dan dipamerkan.

Hasil Wayang Punakawan Sanggar Wayang Marwanto (sumber: instagram/@sanggarwayangmarwanto) 
Hasil Wayang Punakawan Sanggar Wayang Marwanto (sumber: instagram/@sanggarwayangmarwanto) 

Bahkan pemesanan dan konsultasi warna pun bisa dilakukan via WhatsApp. Teknologi mereka jadikan alat untuk menjangkau dunia, tanpa mengorbankan nilai tradisi.

Filosofi di Balik Wayang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun