Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Seni

Sanggar Wayang Marwanto: Menyungging Asa di Atas Kulit Kerbau

7 Mei 2025   13:03 Diperbarui: 10 Mei 2025   14:29 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sanggar Wayang Marwanto (sumber: Instagram/sanggarwayangmarwanto) 

Di tengah derasnya arus modernisasi, di antara gedung-gedung pabrik dan kesibukan kota kecil Sukoharjo, berdiri sebuah bangunan limasan sederhana yang menyimpan kekayaan tak ternilai: Sanggar Wayang Marwanto. 

Di tempat ini, bukan sekadar wayang yang dilahirkan, tetapi juga harapan, nilai, dan jati diri bangsa yang terus disungging di atas kulit kerbau oleh tangan-tangan sabar penuh cinta.

Dari Ketertarikan Kecil, Lahir Warisan Besar

Pak Marwanto, sang empu pengrajin sekaligus pendiri sanggar, bukanlah orang biasa. Kisahnya bermula dari ketertarikan masa kecil saat melihat sang kakek, (Alm.) Pak Gito, menyungging wayang dengan ketelatenan yang membuat anak usia 14 tahun itu terhipnotis. 

Ketertarikan berubah menjadi tekad saat ia berguru kepada pamannya, lalu mendalami sungging secara serius di Sanggar Ki Manteb Soedharsono, dalang legendaris yang dikenal di seluruh Nusantara.

Selama tujuh tahun ia hidup dan belajar di sana. Ia menyaksikan, memegang, dan meniru langsung karya-karya wayang dari berbagai daerah. Namun bukan hanya teknik yang ia pelajari, melainkan juga semangat, etika, dan filosofi kesenian yang mengakar. 

Dari tangan Ki Manteb pula ia mendapat pengakuan ketika kolektor wayang asal Blitar terpikat pada hasil sunggingannya yang dinilai paling rapi dan hidup. Dari sanalah nama Pak Marwanto mulai dikenal.

Sanggar dari Tabungan dan Ketulusan

Tahun 1995, setelah tabungannya cukup, ia memutuskan pulang kampung dan mendirikan sanggar sendiri. Sanggar ini ia bangun perlahan, di halaman rumah, dengan membeli kulit kerbau sedikit demi sedikit. 

Saat krisis moneter 1998 menghantam, banyak pengrajin lain beralih profesi menjadi buruh pabrik. Tapi Pak Marwanto bertahan. Ia tahu: kalau semua menyerah, siapa yang akan melanjutkan tradisi?

Bukan tanpa kesulitan. Pendapatan menurun drastis, minat masyarakat juga mulai merosot. Namun Pak Marwanto percaya, warisan budaya bukan sekadar untuk dijaga, tapi harus dihidupkan kembali. 

Maka ia mengubah sanggar menjadi ruang pendidikan. Ia mengajak warga, terutama yang muda, untuk belajar menyungging (melukis dan mewarnai) wayang kulit. Bukan semata demi penghasilan, tapi demi kelangsungan budaya leluhur.

Sekolah Kehidupan Bernama Sanggar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun