Bila ditanya siapa orang paling inspiratif di sekitarku, jawabannya adalah Ibuku. Sang pejuang rupiah dalam gelap, yang tak pernah lelah berjuang untuk keluarganya.
Udara masih dingin, langit masih gelap. Kebanyakan orang masih terlelap dalam mimpi-mimpi mereka. Tapi tidak bagi Ibu. Setiap hari, sebelum fajar menyingsing, ia sudah terbangun. Saat bulan Ramadan tiba, ia menyiapkan sahur untuk keluarganya terlebih dahulu.Â
Kadang, sahur itu kami nikmati bersama di rumah, tetapi di hari-hari mendekati Lebaran, ketika pasar semakin ramai, ibu terpaksa menyantap sahurnya di perjalanan—di atas kendaraan, di sela waktu menuju tempat berdagang, demi memastikan dagangannya cukup untuk hari itu.
Ibu adalah perempuan tangguh yang tidak pernah mengenal kata lelah. Setelah memastikan kami bersantap sahur, ia segera bersiap untuk berangkat ke pasar. Jarak yang jauh tak menjadi penghalang, keletihan bukan alasan.Â
Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan ini, mengayuh roda rezekinya dengan penuh keikhlasan. Setiap subuh, ia menuju tempat kulakan, memastikan bahan dagangannya terbaik agar bisa dijual kembali dengan harga yang layak di pasar.
Yang membuat perjuangan ibu semakin bermakna adalah kios pasar ini bukan milik orang lain, melainkan warisan dari simbah—nenekku. Sebuah bukti kasih sayang seorang ibu kepada anak perempuannya. Dari generasi ke generasi, kios ini menjadi saksi bisu perjuangan dan ketekunan.Â
Aku tumbuh besar melihat bagaimana Ibu bekerja keras, meneruskan warisan ini, bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dan pengabdian terhadap keluarga.
Ramadan, bagi kebanyakan orang, adalah bulan yang identik dengan istirahat lebih lama setelah sahur. Namun bagi Ibu, ini adalah bulan perjuangan. Pasar lebih padat, permintaan lebih tinggi, dan waktu istirahat semakin sedikit. Terkadang, saat orang-orang baru mulai terjaga, ibu sudah menyelesaikan setengah harinya.Â
Dari subuh hingga siang, ia berjualan di pasar dengan senyum yang tidak pernah pudar, meskipun peluh membasahi tubuhnya. Panas matahari, riuh rendah suara pelanggan, serta beban berat dari dagangannya tak sedikit pun membuatnya mengeluh.
Aku tahu betul, di balik setiap dagangan yang Ibu siapkan, ada pengorbanan yang tidak terlihat. Tangan yang lelah, punggung yang pegal, dan mata yang terkadang memerah karena kurang tidur.Â