Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ekoteologi Moloku Kie Raha: Etika Lingkungan Empat Kesultanan Maluku Utara

1 Desember 2020   03:01 Diperbarui: 1 Desember 2020   04:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai salah satu potensi ekoteologi MKR, ajaran spiritualitas Islam menjadi akar etika lingkungan empat kesultanan Malut, dikenal sebagai Ekoteologi-Tauhid yang meyakini bahwa Allah sebagai al-Khalik (Pencipta). Allah adalah pusat lingkungan. Alam adalah manifestasiNya yang bersama-sama manusia menjadi unsur pembentuk ekosistem dalam kosmos yang berperadaban dan bersifat teleologis. Ada harmoni relasi antara Tuhan, kosmos/alam dan manusia.

Menurut Murata[11], konsep tawhid mengajarkan bahwa relasi ketiga realitas dasar tersebut (Tuhan-alam-manusia) merupakan relasi aktif, saling satu sama lain. Menurut ajaran Islam, dengan konsep Tawhid-nya yang menjadi landasan pemikiran Murata, Tuhan senantiasa mengurus makhlukNya[12], semua makhluk di muka bumi (hayati dan non hayati) tunduk dan bersujud kepada Tuhan[13], dan manusia diturunkan di bumi untuk beribadah dan menjadi 'wali planet' atau 'khalifah/pemimpin di muka bumi'[14]. Dengan segala potensinya, manusia diberi kewenangan Tuhan untuk mengelola bumi dan tidak berbuat kerusakan atau melakukan ecocide, 'bunuh diri lingkungan'[15].

Menurut Mudhofir Abdullah (2010), terkait pandangan relasi Tuhan-alam-manusia tersebut ada 3 (tiga) model, yakni: reduksionistik, holistik dan tawhid[16]. Relasi model Tawhid (Tauhid) yang beranggapan bahwa relasi Tuhan, kosmos, dan manusia adalah bersifat organik. Dengan ilustrasi segitiga relasi, posisi Tuhan sebagai puncak, alam dan manusia sebagai realitas derivatif (turunan). Menurut Yusuf Qaradhawi[17], sebagaimana dikutip Abdullah, ada tiga tujuan hidup manusia di bumi, yakni: mengabdi kepada Allah (QS.51/Adz-Dzariyat:56); sebagai khalifatullah di bumi[18] (QS.2/Al-Baqarah:30, QS. 35/Fathir:39) dan membangun peradaban yang etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur). 

Hal tersebut berbeda dengan relasi reduksionistik yang berpandangan bahwa alam semesta sekadar partikel-partikel benda yang bergerak secara otomatis laksana mesin. Pun berbeda dengan relasi holistik menggambarkan manusia dan kosmos sebagai suatu keseluruhan tunggal yang organik, dan manusia bukan pemilik tunggal alam semesta, tetapi sebagai bagian keluarga biotik besar. Meski demikian, relasi holistik berbeda denga relasi Tauhid karena tidak berdasar wahyu, lebih peduli bumi ketimbang kepada Tuhan.

Secara umum, konsep ekoteologi Tauhid diyakini oleh semua kesultanan di Maluku Utara. Pemahaman tauhid di Kesultanan Bacan relatif lebih mengarah ke purifikasi (pemurnian) ajaran agama Islam dari hal-hal bersifat mistis. Menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam (Ompu Juru Tulis Raa Kesultanan Bacan), Kesultanan Bacan mencoba melepaskan diri dari cerita mitos 'Tujuh Puteri' (Hikayat Ternate)[19] terkait awal mula berdirinya kesultanan di Malut[20]. Hal ini dibenarkan oleh Hi. Muhdar Salim Arif, selaku Ompu Datuk Alolong (Perdana Menteri Kesultanan Bacan). Lambang Kesultanan Bacan berbeda dengan Kesultanan Ternate dan Jailolo yang identik dengan burung Goheba, yakni bola dunia yang dikelilingi ikan, naga dan burung, serta di bawahnya pita bertuliskan 'Limau Dehe' (penjaga pintu terjauh, pintu Selatan)[21].  

Selanjutnya, pada masa Sultan Muhammad Oesman Sjah (Sultan Bacan XVIII, 1889-1935), Kesultanan Bacan melarang beberapa tradisi bernuansa kekerasan, yakni debus dan pembuatan sasi di kebun berupa pemasangan alat seperti mata panah/jerat babi. Debus, di Tidore dikenal dengan sebutan 'ratib taji besi'[22], merupakan tradisi baca doa di wilayah empat kesultanan Malut biasa untuk acara ziarah/mengingat kematian seorang Muslim (tahlilan) diiringi dengan musik dan tarian menusuk badan dengan benda/senjata tajam.

Konsep Tauhid kesultanan di Malut tergambar jelas pada falsafah Jou se Ngofangare. Istilah Jou memiliki arti Gikiamoi (Dia yang Esa), Tuhan dan Ngofangare  adalah hamba[23]. Jou se Ngofangare berarti Tuhan dan hamba, pun bisa berarti Sultan dan rakyatnya. Secara kosmologi, konsep ini dihubungkan dengan hubungan perempuan dan laki-laki, lautan dan daratan, siang dan malam. Falsafah ini disimbolkan dengan Goheba Madopolo Romdidi, yakni burung garuda/elang berkepala dua, berbadan satu dan berhati satu sebagai lambang Kesultanan Ternate (dan Kesultanan Jailolo). Dalam proses realisasi adat se atorang[24] di wilayah Moloku Kie Raha, terutama setelah masuknya Islam dan akulturasi budaya lain, konsep Jou se ngofangare diterjemahkan secara lebih luas, berkaitan dengan sistem pemerintahan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan[25]. Falsafah Jou se Ngofangare ini juga diyakini oleh masyarakat di ketiga kesultanan lainnya (Bacan, Jailolo dan Tidore).

Falsafah Jou se Ngofangare adalah ajaran Tauhid yang mengajarkan manusia bahwa Allah SWT itu esa, Maha Pencipta, dan dari Dia pula semua ini berasal, dengan Muhammad merupakan kekasihNya[26]. Kapasitas Jou dalam pandangan orang Ternate adalah Allah SWT dengan Al Qur'an sebagai firmanNya dan Ngofangare adalah Muhammad dengan hadis dan hadis Qudsi sebagai firmannya. Di Kesultanan Ternate, menurut Ofa Nuzuluddin M. Sjah, salah satu putra Sultan Ternate, falsafah tersebut tercermin pada filosofi 'Limau Gapi' yang menjelaskan hubungan antara Tuhan, alam dan manusia[27]. 

Falsafah Jou se Ngofangare tidak bisa dipastikan kapan lahir, bahkan tokoh pencetusnya pun tidak diketahui. Sultan Ternate, almarhum Mudaffar Syah, menyatakan bahwa falsafah Jou se Ngofangare telah ada sejak jaman Momole (sebelum Islam) dan lahir sebagai karya akal budi murni masyarakat Malut secara turun temurun[28]. Menurut penulis, bagi masyarakat tradisional tersebut, Jou adalah Sang Tuan atau 'Realitas Agung' atau Sesuatu yang Agung yang diyakini dan bukan berasal dari agama tetapi dari ajaran adat, budaya nenek moyang yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat itu, seperti animisme, dinamisme dan Kejawen (di Jawa)[29]. Hal ini dibenarkan oleh Jogugu Kesultanan Jailolo, Hairudin Saifuddin, sekaligus Camat Jailolo, bahwa semua benda mempunyai 'Tuan' sehingga pada masyarakat tradisional Jailolo dikenal ungkapan: "ruahe kagena afa, barangge se ma madihutu" (jangan otak-atik suatu barang/daerah, karena suatu barang/daerah tersebut ada Tuan-nya)[30].

Masuknya Islam di Ternate (dan tiga kesultanan lainnya), tidak merubah falsafah ini, melainkan memperkuat konsep dasarnya, karena memiliki kesamaan konsep dengan Islam. Dalam penjelasannya, falsafah ini selalu dihubungkan dengan Islam, perkataan Jou berarti "Tuhan" (Allah) sedangkan Ngofangare  berarti "seorang hamba laki-laki" (Muhammad)[31]. Pada masa pra penciptaan atau sebelum terciptanya segala sesuatu, yang ada ketika itu adalah Allah dan Nur Muhammad. Ini adalah bentuk penggambaran tentang awal penciptaan, bahwa alam semesta dan segala isinya termasuk manusia, tercipta melalui Nur Muhammad yang beremanasi dari Allah SWT. Nur Muhammad memiliki dua jalur hubungan, yaitu hubungan dengan alam semesta sebagai asas penciptaan alam, dan hubungan dengan manusia sebagai hakikat manusia atau Insan kamil[32].

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun