Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ekoteologi Moloku Kie Raha: Etika Lingkungan Empat Kesultanan Maluku Utara

1 Desember 2020   03:01 Diperbarui: 1 Desember 2020   04:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut Jojau, salaboso atau salah boboso merupakan adanya fenomena/tanda-tanda alam manakala terjadi pelanggaran sosial, etika maupun agama di suatu daerah, semisal pembunuhan, perkosaan, perzinahan, dan sebagainya. Fenomena alam tersebut biasanya berupa gelegar petir, hujan terus menerus, dan sebagainya. Peristiwa tanda alam tersebut akan berhenti/reda jika permasalahan sudah terungkap atau pelaku pelanggaran tertangkap. Selain hal itu, sebagian masyarakat (khususnya tokoh agama/adat) dapat membaca tanda-tanda alam lainnya, seperti gunung bercungkup awan pertanda ada kedukaan (kematian), panas terik dan tiba-tiba hujan pertanda ada peristiwa pernikahan, dan sebagainya.

Jika boboso adalah bentuk penghormatan terhadap makhluk hidup yang nyata (tampak), seperti hewan, tumbuhan dan manusia, maka di Kesultanan Tidore dan kesultanan lainnya juga berlaku penghormatan terhadap makhluk ghaib (kasat mata), seperti jin, arwah leluhur, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang mengklasifikasikan makhluk hidup ciptaan Tuhan terdiri dari makhluk nyata (manusia, hewan, tumbuhan) dan makhluk kasat mata, ghaib (jin). Dalam ajaran Islam, manusia dan jin mempunyai kewajiban sama untuk tunduk/devosi/ibadah kepada Allah SWT, sang Khaliq (Pencipta)[44]. Yang membedakan keduanya adalah tanggung jawab perwalian di muka bumi (khalifah fil ardhi) hanya diberikan kepada manusia[45]. Dengan demikian, yang dinamakan 'ekosistem' dalam Islam adalah seluruh makhluk hidup dan tak hidup, nyata dan tidak nyata (ghaib).

Secara umum, masyarakat di empat kesultanan mengakui keberadaan tempat-tempat makhluk ghaib tinggal, baik di laut, gunung, sungai, telaga/ mata air maupun tempat karamat di daratan lainnya seperti makam/jere (Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan) dan goya (Tidore). Penghormatan terhadap tempat-tempat karamat tersebut biasa dilakukan dalam setiap upacara adat pergantian Sultan, tolak bala'/bencana, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), dan kegiatan sosial-budaya bersifat hiburan (pariwisata), seperti Legu Gam (Perayaan Ulang Tahun Sultan Mudaffar Sjah) di Ternate dan Festival Teluk Jailolo (FTJ) di Kabupaten Halmahera Barat. Semisal, di Kesultanan Bacan dikenal adanya tradisi Arungi Nusa (keliling pulau dengan perahu) saat pergantian Sultan Bacan. Tradisi ini mirip dengan tradisi Kololi Kie (keliling gunung) di Kesultanan Ternate setiap 1 Muharram (Tahun Baru Islam), dan Kololi Jiko (keliling teluk) di Kesultanan Jailolo, yakni mengelilingi pulau/gunung dengan perahu.

Menurut Jogugu Hairudin Saifuddin, Kololi Jiko merupakan tradisi ziarah Kesultanan Jailolo diawali dari Pulau Babua yang terdapat tempat keramat/jere menuju Tanjung Naga (terdapat karamat koma di Desa Tuada), lanjut ke Jailolo (keramat /jere Porniti) dan berakhir di Kedaton Kesultanan Jailolo untuk babaca (mengaji Qur'an)[46]. Kegiatan kololi jiko tersebut kini menjadi salah satu rangkaian acara Festival Teluk Jailolo (FTJ) di Halmahera Barat, dan sebelumnya juga diawali kegiatan Singofi Ngolo (membersih laut), yakni doa untuk para penguasa (depe Tuan) di laut.

Menurut Jojau M. Faarouk Amin, Kesultanan Tidore juga mengenal tradisi Lufu Kie (ron gunung), yakni keliling gunung dengan arah gerak seperti thawaf (berlawanan arah jarum jam)  sembari berziarah (tagi jere) ke tempat-tempat keramat, seperti makam para sultan, makam wali/tokoh agama dan goya[47]. Jika menemui makam/jere para sultan dan wali tersebut, mereka melakukan baca doa/tahlil yang dipimpin per marga (sesuai dengan marga wali yang diziarahi). Jika dalam lufu kie tersebut mereka menemui tempat bersejarah, maka akan dibacakan doa selamat/syukur. Namun, jika mereka menemui goya (tempat tinggal jin/makhluk halus) maka tidak dibacakan doa tetapi hanya diberikan sesaji, misal sirih-pinang, di sekitar goya tersebut.

Selain penghormatan terhadap manusia, hewan, tumbuhan bahkan makhluk ghaib (jin, arwah leluhur/nenek moyang), secara umum masyarakat di empat Kesultanan MKR sangat menjaga kelestarian SDA lainnya, seperti hutan, air, dan tanah. Adanya sasi, boboso dan upacara adat lainnya sejatinya dalam rangka menjaga kelestarian ekosistem sebuah tempat/daerah. Jika pengertian ekosistem hutan bagi pakar lingkungan, semisal Awang (2006), sebagai sinergi antara flora, fauna, manusia dan lingkungan secara utuh, bukan terpisah-pisah antar komponen-komponen ontologisnya[48], maka bagi masyarakat Kesultanan, ekosistem hutan adalah lebih dari sekadar pengertian tersebut. Sesuai ajaran Islam, masyarakat Kesultanan menganggap selain makhluk yang tampak, seperti dalam pengertian tersebut, ekosistem hutan dan sumber daya alam lainnya pun mencakup adanya makhluk tak tampak mata (ghaib). Maka, dalam beberapa upacara adat terkait penjagaan alam ataupun hubungan dengan fenomena alam (bencana, panen, bersih desa, fenomena lainnya), selain membangun komunikasi dengan sesama manusia, pemimpin upacara tersebut pun akan berkomunikasi dengan makhluk kasat mata (ghaib) yang berada di sekitar tempat upacara tersebut. 

Terkait penguasaan tanah, secara umum empat kesultanan MKR memiliki Aha Kolano, yakni tanah milik Sultan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan Sultan sekaligus kesejahteraan masyarakat adat, di bawah kuasa kesultanan. Hakikatnya, seluruh tanah merupakan Aha Kolano, yaitu tanah Kolano (Sultan), tetapi penguasaan Aha Kolano oleh Sultan hanya bersifat publik. Sultan tidak mempunyai tanah secara pribadi. Hal ini ditegaskan pula oleh Ofa Nuzuluddin M. Sjah, Aha Kolano meski tanah Sultan (Kolano), tetapi tidak dapat dimiliki ahli waris, termasuk Aha Cocatu dan tanah-tanah lainnya[49]. Di Kesultanan Jailolo, menurut Jogugu Hairudin Saifuddin, dikenal dengan nama Aha Kie Sekolano untuk menyebut tanah negara yang dimiliki Kesultanan[50].

Menurut Hi. Ahmad Dano Nasir, Imam Ngofa Masjid Kesultanan Ternate, Kesultanan Ternate membagi tanah menjadi 5 (lima) jenis hak tanah, yakni Aha Kolano (dusun jaga), Raki Kolano (tanah yang dizinkan untuk digarap warga, biasa tanami sagu dan bambu), Aha Soa (tanah yang diberikan kepada soa/marga), Aha Cucatu (tanah yang diberikan kepada warga masyarakat, baik perorangan, badan hukum ataupun instansi pemerintah), dan Gura Gam (kebun desa, diberikan kepada desa dan hasil tanaman untuk kepentingan desa yang bersangkutan) [51]. 

Menurut Faarouk Amin, masalah tanah di kesultanan Tidore pun diklasifikasikan menjadi 5 (lima), yakni Hale Aha Kolano (Tanah kebun raja), Hale Eto se Daera (Tanah jelajah), Hale Cocatu (Tanah pemberian sultan), dan Hale Joram (Tanah pemberian untuk perkebunan/ pertanian) dan Hale Gubu (Tanah pekarangan rumah)[52]. Selanjutnya, Kesultanan Tidore memiliki tanah adat bernama Jojoko (jelajah) sejak zaman para Momole (pra Islam), pun pernyataan sumpah, bernama 'Bobeto' yang sangat sakral. Bobeto digunakan dalam rangka penyelesaian masalah antarwarga termasuk masalah konflik tanah/pengelolaan SDA. Jika tidak ada kesepakatan para pihak yang bersengketa, maka keputusan terakhir dibuat perjanjian mengikat kedua belah pihak, yakni Boso Banari (Belanga Kebenaran) yang pada gilirannya kedua belah pihak menerima resiko 'kematian'. "Bobeto dan Boso Banari sangat berpengaruh kepada masyarakat hukum adat di Kesultanan Tidore", pungkasnya[53].

Bagi Kesultanan Bacan, menurut Ibnu Tufail, Aha Kolano ibarat gudang logistik atau lumbung masyarakat, merupakan sebuah kawasan yang berisikan tanaman pangan (sagu), hasil hutan (kayu), hasil ikutan (rotan, damar) hingga hasil sampingan (buah-buahan)[54]. Sasi merupakan kebijakan Sultan Bacan untuk menjaga kelestarian sumber daya Aha Kolano tersebut, dan tanah-tanah masyarakat adat lainnya. 

Selanjutnya, menurut Hairudin Saifuddin, selain Aha Kie Sekolano yang diurus oleh seorang penjaga tanah/perawat bernama pertada, Kesultanan Jailolo juga mengenal Aha bubula, Aha Cocatu dan Aha Soa. Aha Bubula merupakan tanah pemberian kesultanan kepada seseorang yang berjasa, Aha Cocatu diberikan kepada individu untuk dikelola dan tidak merusak, sedangkan Aha Soa diberikan kepada 'Soa' (desa) untuk mengelola/memelihara. Selain pertada, Aha Kie Sekolano boleh dinikmati/ kelola warga dengan atas seijin pertada, sejenis kewang (penjaga sasi di Maluku).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun