Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Quo Vadis Hutan Adat Moloku Kie Raha?

14 September 2017   09:48 Diperbarui: 14 September 2017   10:14 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Masyarakat Adat Kesultanan dan Bukan Kesultanan : Refleksi Kritis

Secara  umum klasifikasi masyarakat adat di Malut terbagi menjadi 2 (dua),  yakni masyarakat adat kesultanan dan masyarakat adat bukan kesultanan.  Masyarakat adat kesultanan adalah masyarakat adat yang banyak  dipengaruhi oleh budaya (dan ajaran) agama Islam. Maluku Utara sebagai  salah entitas sosial-budaya berasal dari frasa 'Moloku Kie Raha' yang  secara etimologi berarti Empat Gunung / pulau Maluku, yakni gunung  Ternate, gunung Tidore, gunung Makian dan gunung Moti. Dalam sejarahnya,  keempat gunung tersebut bertransformasi menjadi kerajaan-kerajaan  (kesultanan) di Malut, yakni Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan  Jailolo. Meski akhir-akhir ini pun muncul / eksis kembali kesultanan  Galela dan Loloda.

Selain masyarakat adat Kesultanan tersebut,  pada sisi lain Sosiologi (masyarakat) Halmahera juga berkembang  keberadaan masyarakat adat di luar pengaruh Kesultanan, antara lain  masyarakat Tobelo Dalam (Suku Tugutil), Poton (Patani), Tobaru, dan  sebagainya. Pun terdapat masyarakat adat Gamrange(Maba-Patani-Weda) yang dibingkai semangat Fagogoru(kekeluargaan,  persaudaraan) sebagai Tiga Negeri Basudara. Mereka tumbuh sebagai  'oposisi' --bukan sebagai musuh- dari salah satu Kesultanan dan cenderung  sebagai bentuk perlawanan terhadap rejim status quo saat itu, yakni pemerintah kolonial penjajah.

Wicara  tentang pengelolaan sumber daya alam (SDA) termasuk hutan adat, selama  ini ada sedikit perbedaan antara masyarakat adat Kesultanan dan bukan  kesultanan. Menurut penulis, pengelolaan SDA masyarakat bukan Kesultanan  relatif lebih nampak dibanding masyarakat adat kesulatanan. Semisal,  masyarakat suku Tugutil lebih kental tradisi ekologisnya (berburu,  meramu, berladang) karena tinggal di dalam kawasan hutan. 

Bagi  masyarakat Tugutil, hutan adalah rumah tempat hidup leluhur mereka. Pun  sebagai satu kesatuan yang membentuk identitas mereka sebagai orang  hutan. (Munadi, 2016). Berdasar informasi salah satu aktivis Burung  Indonesia, perpindahan mereka dari ladang satu ke ladang lain pun masih  di sekitar sungai-sungai induk atau berporos pada mata air. Penulis  menyebutnya sebagai "thawaf Tugutil"***, berputar -- berjalan menjaga keberlangsungan hidup sesama dan kelestarian semesta (bumi dan isinya).

Selama  ini, penulis belum banyak mendengar kiprah masyarakat adat Kesultanan  dalam pengelolaan hutan, termasuk Kesultanan Ternate, dimana penulis  tinggal di wilayah Kota Ternate. Kisah dinamika masyarakat adat  Kesultanan lebih banyak mengarah pada aspek politik dan sebagian aspek  sosial -- budaya. Belum banyak --jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama  sekali- prestasi ekologi maupun aktivitas pelestarian lingkungan dan  pengelolaan hutan yang digerakkan oleh Kesultanan. Fatwa -- fatwa / fikih  lingkungan yang diharapkan masyarakat akar rumput (grassroots)  dari pemimpin umat / Kesultanan jarang didengar, dan kadang kalah oleh  fatwa politik (himbauan partisipasi 'suara' setiap pesta politik)  ataupun pesta budaya. Kalaupun ada, bisa jadi publikasi yang kurang  dalam sosialisasikan fatwa ekologi tersebut.

Padahal Kesultanan  sangat berpotensi mengelola ranah ekologi ini, selain kekuatan politik,  sosial dan budaya sebagai modal sosial, nilai-nilai penyangga fatwa  ekologi tersebut relatif lebih kuat dan sistematis, yakni ajaran agama  (Islam). Banyak fikih lingkungan dalam Al Qur'an dan Sunnah yang bisa  dikodifikasi dalam ajaran adat Kesultanan. Pun bisa mengakomodasi  ajaran-ajaran agama lain dalam upaya pelestarian lingkungan sehingga  dari Kesultanan pun dapat menjadi salah satu pionir ide penulis tentang  'Resolusi Hijau dan toleransi berbasis ekologi' (2015).

 

Devosi Ekoteologi : Muara Spiritualitas Hutan Adat

Terkait  Hutan Adat, masyarakat adat Kesultanan dan bukan Kesultanan berpotensi  untuk mengembangkan Hutan Adat. Satu kendala besar dalam mewujudkan  idealita tersebut adalah belum adanya dukungan pemerintah daerah dalam  bentuk Peraturan Daerah Masyarakat Hukum Adat (Perda MHA). Masyarakat  adat Kesultanan dan bukan Kesultanan diharapkan bergayutan dengan para  pihak (stakeholders) dalam mendorong pemerintah daerah guna segera menerbitkan Perda MHA di wilayah provinsi dan kabupaten / kota masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun