Mohon tunggu...
Muhammad NizarZulmi
Muhammad NizarZulmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang

Muhammad Nizar Zulmi adalah seorang pembelajar dan seorang penulis pemula. Sangat tertarik dengan informasi-informasi tentang hukum, politik, dan geopolitik. Hobi bermain futsal dan mendengarkan podcast.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menimbang Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Tidak Langsung

11 Desember 2023   14:00 Diperbarui: 13 Desember 2023   22:04 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Galeri Pribadi 

Di tengah semaraknya pemilihan umum (pemilu) yang akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 14 Februari 2024 nanti. Perhelatan pemilu tersebut bukan hanya memilih kandidat calon presiden dan wakil presiden saja, namun juga memilih anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota. Kemudian, di tahun yang sama yaitu tahun 2024, KPU kembali mengadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota secara serentak pada tanggal 27 November 2024. Indonesia pernah mengalami pemilihan kepala daerah langsung yang dipilih oleh rakyat dan pemilihan tidak langsung yang dipilih oleh DPRD. Pemilihan secara tidak langsung sempat dilakukan yakni pada periode tahun 1999 pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah hingga tahun 2004 (Insiyah et al., 2019). Antara pemilihan langsung maupun tidak langsung memiliki keunggulan dan kelemahan dalam praktiknya, berikut penulis uraikan beberapa keunggulan dan kelemahan 2 (dua) model pemilihan tersebut:

  • Keunggulan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung

Pertama, pilkada secara langsung akan mendapatkan legitimasi dari rakyat karena terjalin interaksi yang dekat antara calon kepala daerah dengan masyarakat. Legitimasi bersifat penting karena menurut Gramsci terdapat kesepakatan antara penguasa dengan rakyat. Bahwa legitimasi tersebut ternyata lebih efektif dalam mempertahankan kekuasaan seorang penguasa. Selain itu, kesepakatan tersebut sebagai sarana kontrol dalam melanggengkan legitimasi daripada menggunakan cara kekerasan (Simamora, 2011). Kedua, pengakomodasian partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan kepala daerah yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan adanya pemilihan secara langsung dan bebas, maka peluang terpilihnya calon pemimpin yang dikehendaki mayoritas rakyat akan terwujud. Ketiga, terdapat proses checks and balances yang fair antara kepala daerah dengan DPRD. Hal ini karena kepala daerah tidak dipilih oleh DPRD, sehingga DPRD tidak mempunyai hak untuk menekan atau mempengaruhi kepala daerah.

  • Kelemahan pilkada secara langsung

Pertama, potensi timbulnya konflik horizontal di masyarakat. Konflik horizontal ini telah tergambarkan pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang berawal dari peristiwa penyelewengan makna surat dalam Alquran yaitu surat Al Maidah ayat 51 oleh kandidat calon gubernur yang bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Akibatnya, terjadi konflik sosial dan pembelahan kelompok masyarakat yang begitu besar antara pendukung Anies Baswedan yang diasosiasikan dengan kelompok Islam yang beretnis Arab dan kelompok pendukung Ahok yang diasosiasikan dengan Kristen yang beretnis Cina (Sofyan Sawri, 2020). Kedua, pilkada langsung akan menghabiskan modal kampanye yang banyak dan mahal bagi para kandidat/peserta pilkada. Menurut kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya politik untuk bisa menjadi bupati atau wali kota rata-rata berada di kisaran Rp20-30 miliar. Sementara untuk bisa menjadi gubernur rata-rata menghabiskan biaya sekitar Rp100 miliar (Fitria Chusna Farisa & Galih, 2023).

  • Keunggulan pilkada yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Pertama, meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mekanisme demokrasi. Pilkada secara tidak langsung dapat meminimalkan biaya demokrasi yang mahal. Faktanya, bahwa mahalnya biaya pilkada telah banyak menyerap Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) pada setiap lima tahun. Setiap tahun pemerintah pusat harus menyiapkan biaya pilkada yang mencapai triliunan rupiah. Belum lagi biaya tambahan apabila terjadi pilkada ulang setelah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pilkada tidak langsung menyerap lebih sedikit biaya dibandingkan dengan pilkada secara langsung.

Kedua, melalui pilkada tidak langsung setidaknya dapat mengurangi beban MK selaku lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Keterbatasan hakim MK yang hanya berjumlah 9 orang, dapat mengakibatkan penumpukan berkas perkara sengketa hasil pilkada di MK. MK sebenarnya telah mencoba menyelesaikan permasalahan ini melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan untuk membentuk badan peradilan khusus guna menyelesaikan perselisihan hasil pilkada pada lingkup Mahkamah Agung yang sejajar dengan pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara (Supriyadi & Kasim, 2020). Namun, hingga saat ini badan peradilan khusus yang dimaksud belum juga terbentuk, sehingga penyelesaian hasil pilkada saat ini tetap ditangani oleh MK. Ketiga, pilkada yang dipilih oleh DPRD dapat meminimalisasi praktik vote buying atau politik uang. Politik uang hanya akan terkonsentrasi pada kandidat calon kepala daerah dan anggota DPRD dan tidak akan sampai meluas ke masyarakat.

  • Kelemahan pilkada yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Pertama, hilangnya partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria masyarakat. Implikasi dari pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan menjauhkan hubungan antara rakyat dengan kepala daerah yang juga berakibat pada tidak diketahuinya visi misi pemimpin daerahnya sendiri oleh masyarakat. Kedua, kepala daerah kurang mendapatkan legitimasi dan pengakuan dari masyarakat karena proses pemilihannya ditentukan oleh DPRD. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dalam negara yang menganut sistem demokrasi modern, pemerintahan daerah harus mendapatkan legitimasi atau penerimaan yang kuat dari rakyat daerah tersebut (Insiyah et al., 2019). Pemerintahan yang tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat akan berpotensi terciptanya instabilitas politik di daerah.

Pada kesimpulannya, pemilihan umum sebagai sarana pengaplikasian kedaulatan rakyat dalam realitasnya terdapat kelebihan dan kekurangan. Selain itu, pemilihan kepala daerah tidak langsung yang dipilih oleh DPRD juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Indonesia lebih cocok menerapkan pemilihan umum secara langsung yang melibatkan partisipasi masyarakat. Meskipun dalam sistem tersebut terdapat kekurangan, namun hal ini harus terus diupayakan perbaikan yang melibatkan banyak pihak seperti penyelenggara pilkada, pengawas pilkada, peserta pilkada, dan masyarakat untuk mencapai sistem pemilu yang bersih, efisien, dan ideal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun