Opini Penulis
Dari kacamata Hukum Tata Negara, Karbala menghadirkan ironi yang mendalam.
Bagaimana mungkin sebuah sistem pemerintahan yang mengklaim diri sebagai penerus khilafah, sebuah model ideal dalam sejarah Islam, justru dapat melahirkan kebrutalan dan pengabaian prinsip-prinsip dasar kenegaraan? Ini menunjukkan bahwa struktur formal tata negara, sekuat apa pun ia dirancang, akan rapuh jika tidak ditopang oleh fondasi moralitas dan etika yang kuat dari para pemegang kekuasaan.
Kegagalan sistem suksesi yang berubah menjadi monarki herediter adalah akar masalahnya. Hukum Tata Negara seharusnya menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam peralihan kekuasaan, bukan menjadi alat legitimasi bagi ambisi pribadi.
Ketika penguasa seperti Yazid bin Muawiyah menggunakan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat dan memaksakan kehendak, itu bukan hanya pelanggaran HAM saja, tetapi juga indikator kegagalan sistematis dalam melindungi kebebasan berpendapat dan hak rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan arah pemerintahan.
Lebih jauh lagi, Karbala adalah bukti nyata bahwa ketiadaan institusi yang independen dan kuat, seperti peradilan yang imparsial atau lembaga pengawas yang efektif, dapat berakibat fatal. Tanpa mekanisme checks and balances yang baik, kekuasaan cenderung korup dan absolut.
Sistem yang ada pada masa itu gagal mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh Yazid bin Muawiyah, dan justru menjadi alat represinya.
Ini adalah kritik keras terhadap setiap sistem tata negara yang menempatkan kekuatan militer di atas supremasi hukum, atau yang membiarkan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite tanpa pengawasan memadai. Karbala mengajarkan kita bahwa hukum tanpa hati nurani adalah tirani.
Karbala: Cerminan Abadi Pertarungan Keadilan Melawan Kezaliman
Tragedi Karbala, yang berujung pada gugurnya Sayyidina Husein, adalah cerminan kelam dari ambisi politik dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengabaikan prinsip moral dan keadilan. Peristiwa ini bermula dari pergeseran sistem suksesi kepemimpinan Islam dari musyawarah (syura) menjadi sistem monarki turun-temurun oleh Muawiyah.
Penolakan Sayyidina Husein terhadap kepemimpinan Yazid bin Muawiyah, yang dinilai tidak sah dan akan membawa kemungkaran, menunjukkan benturan antara klaim legitimasi berbasis kekuatan militer dan klaim yang berlandaskan prinsip-prinsip syariat serta keadilan.