Mohon tunggu...
Muhammad Yazid Al Faizi
Muhammad Yazid Al Faizi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Karbala: Tragedi Kemanusiaan dan Fondasi Hukum Tata Negara

6 Juli 2025   14:34 Diperbarui: 18 Juli 2025   14:30 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dalam buku Fiqh Siyasah: Terminologi dan Lintasan Sejarah Politik Islam Sejak Nabi Muhammad SAW hingga Al-Khulafa Ar-Rasyidin karya Beni Ahmad Saebani, halaman 9, dikatakan bahwa:

"Betapa menyedihkan jika membaca sejarah permusuhan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, dan mengerikan sekali ketika cucu Muhammad SAW, yaitu Sayyidina Husein yang harus berakhir dengan kepala terpisah dari badannya. Semua itu terjadi karena politik dan ambisi kekuasaan."

Peristiwa tersebut dinamai Tragedi Karbala, yang puncaknya adalah kesyahidan Sayyidina Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW, pada tahun 61 Hijriyah (680 Masehi).

Karbala bukan sekadar lembaran kelabu dalam sejarah Islam, melainkan cermin kompleksitas hubungan antara hasrat kekuasaan, moralitas, dan agama yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah.

Tragedi tersebut, meskipun telah berabad-abad berlalu, tetap relevan sampai sekarang sebagai pelajaran berharga tentang bagaimana ambisi politik dapat menodai prinsip-prinsip keadilan dan melahirkan pelanggaran serius terhadap tatanan kenegaraan yang ideal.

Tulisan ini akan sedikit mengkaji keterkaitan wafatnya Sayyidina Husein dengan dinamika politik kekuasaan pada masa itu, serta menarik benang merahnya dengan konsep-konsep fundamental dalam Hukum Tata Negara.

Pertarungan Ideologi dan Klaim Legitimasi

Untuk memahami keterkaitan Karbala dengan politik kekuasaan, kita perlu menilik konteks sejarahnya.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, suksesi kepemimpinan umat Islam menjadi isu yang penting. Meskipun sistem khilafah awal didasarkan pada musyawarah (syura), benih-benih konflik pun mulai tumbuh seiring dengan perluasan wilayah dan masuknya budaya serta kepentingan yang beragam.

Puncak dari ketegangan ini terjadi pasca wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, yang kemudian digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan sang pendiri Dinasti Umayyah.

Muawiyah mendirikan sebuah sistem pemerintahan yang cenderung monarkis, di mana pemilihan kekuasaan tidak lagi melalui musyawarah, melainkan berdasarkan keturunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun