[caption id="attachment_321163" align="aligncenter" width="598" caption="Penyelenggaraan Pileg 9 April 2014."][/caption]
Warung kopi menjadi tempat paling mengasyikkan untuk mendengar kisah keberhasilan atau kegagalan para calon legeslatif. Ditempat itu pula dapat diketahui siapa yang linglung karena gagal dan siapa yang riang karena menang. Lalu, apa keunggulan dan kelemahan trik politiknya.
Pasca Pileg tanggal 9 April 2014 lalu, WRB Cafe yang terletak di Jalan Yos Sudarso Takengon, silih berganti didatangi caleg. Sambil menikmati secangkir espresso, mereka mengulas trik yang dilakukannya dan caleg lain dalam mendulang suara.
Sebagai warga biasa, kompasianer tersentak-sentak mendengar kisah dan trik para caleg dalam meraih suara rakyat. Pasalnya, cara yang mereka lakukan sangat berani, terkadang sudah diluar logika. Trik yang mereka lakukan persis seperti permainan rolet Rusia, selamat atau mati.
Bagaimana triknya? Para caleg merekrut tim sukses (timses) masing-masing dari setiap desa di daerah pemilihannya. Timses itu, dikenal dengan nama sandi “kontraktor suara.” Timses itu dikontrak dengan angka tertentu oleh para caleg. Targetnya, timses harus memastikan sekian suara untuk sang caleg dari desanya.
Dalam kapasitas sebagai “kontraktor suara,” timses inilah yang bekerja habis-habisan di lapangan. Merekalah yang bertarung dan “kontak fisik” dengan timses dari caleg yang lain. Mereka pula yang mendatangi rumah warga, door to door. Pendeknya, “kontraktor suara” inilah orang-orang paling sibuk menjelang Pileg dibandingkan caleg itu sendiri.
Uang membuat adrenalin mengelegak. Faktor itulah yang membuat para “kontraktor suara” bekerja mati-matian. Mereka harus memuluskan jalan tuannya menuju ke kursi parlemen. Kenapa? Karena mereka sudah menerima sejumlah uang pemenangan yang didasarkan pada target jumlah suara yang akan didulang si caleg.
Seandainya hasil suara dari desa binaan timses itu tidak sesuai target, maka timses harus mengembalikan uang yang sudah diterimanya. Sebaliknya, jika suara yang diperoleh sang caleg melebihi dari target maka timses itu akan mendapat tambahan uang sesuai jumlah suara yang bertambah.
Dengan pola “kontrak suara” itu, si caleg tidak bertemu langsung dengan pemilihnya. Timses lah yang berkomunikasi langsung dengan para pemilih. Dengan ketersediaan logistik plus dana operasional, timses harus pandai-pandai “mengeloni” konstituen agar memperoleh untung yang signifikan.
Seandainya timses berhasil meyakinkan pemilih tanpa perlu mengeluarkan dana, maka sisa dana itu menjadi keuntungan timses. Ini artinya, makin banyak pemilih yang menyoblos sang caleg tanpa harus “dibayar” oleh timses maka keuntungan makin besar.
Begitulah perjanjian mereka, menarik memang. Disamping banyak timses yang untung, tidak jarang pula yang buntung alias rugi besar. Kerugian itu terjadi karena pemilih yang sudah menerima sejumlah dana dari timses itu, ternyata tidak memilih caleg yang mereka sepakati. Terjadinya hal seperti ini biasanya karena timses itu kalah tarung dengan timses dari caleg yang lain.