Mohon tunggu...
Muhammad Solihin
Muhammad Solihin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pemimpi dan Pengembara kehidupan

Hidup adalah cerita dan akan berakhir dengan cerita pula. muhammad solihin lentera dunia adalah sebutir debu kehidupan yang fakir ilmu dan pengetahuan. menapakin sebuah perjalanan hidup dengan menggoreskan cerita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menunggu Giliran, Hidup seperti Arisan

30 Juni 2021   17:13 Diperbarui: 30 Juni 2021   19:53 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap hari berita dilayar televisi tidak henti-hentinya mengulas keganasan virus corona. Pemerintah beradu cepat berlari kencang dalam menaggulangi virus yang konon mematikan ini, tapi covid-19 semakin menggila.

Tahun ini, target satu juta vaksin perhari mampu di distribusikan oleh pemerintah. Artinya pemimpin negeri ini sangat serius dalam menangani pandemi ini. Namun apalah daya, alih-alih corona lenyap dari bumi nusantara ini, ternyata keberadaan virus corona semakin merajalela.

Seminggu lalu, Sanusi sahabatku menghembuskan nafas terakhir dipembaringan rumah sakit kamar nomer 031. Janazahnya tidak dimandikan dan dikafankan pada alamat duka. Aku dengar ia dikebumikan di pemakanan baru, khusus korban corona.

Kasihan istri Sanusi, Perempuan beranak satu itu menjadi janda kembang dalam usia muda. Untung saja semasa hidup, Sanusi merupakan lelaki pekerja keras. Ia masih meninggalkan satu kapling kebun kelapa sawit dan sepuluh rumah kontrakan. Peninggalan Sanusi itu tentu akan mengurangi beban derita istrinya. Pastilah beruntunglah lelaki yang akan menjadi  suami barunya kelak, sekan mendapat durian jatuh.

Lain Sanusi, lain pula cerita yu Parmi. Perempuan setengah umur itu harus mati pada usia empat puluh dua tahun. Usia yang relative tidak begitu tua. Anak sulungnya saja masih duduk di bangku kelas sembilan SMP dan anak bungsunya kelas lima sekolah dasar.

Singkat cerita, Konon kematian yu Parmi disebabkan sesak nafas. Memang, sejak remaja ia punya penyakit itu. Ketika sekolah dahulu, yu Parmi sering pingsan saat berolahraga. Jika keletihan, nafasnya tersengal-sengal, susah sekali bernafas. Hanya minum air hangat dan istirahat yang cukup, tidak lama kemudian ia akan sehat kembali. Cerita itu aku tahu dari Yu Sumi teman sekolahnya yu Parmi.

Sebenarnya, sejak yu Parmi menikah. Penyakit sesak nafasnya lambat laun menghilang, sudah tidak pernah kambuh lagi. Hampir dua puluh tahun ini aman-aman saja. Sayangnya, di masa pandemi ini, sesak nafas yu Parmi malah kambuh dan dokter menyatakan ia terpapar covid.

Betapa sedihnya Udin atas kematian istrinya itu. Di hati Udin, Istrinya lah perempuan terbaik dalam hidupnya selama ini, karena yu Parmi begitu sayang keluarga. Pada saat mendiang yu Parmi masih hidup, tidak ada sedikit pun hati Udin untuk menduakannya. Entah nanti, setelah tanah kubur yu Parmi mengering, apakah Udin akan nikah lagi? Kita tunggu saja kabar beritanya…

Kematian dua warga desa, sangatlah mengkhawatirkan. Lantaran Sanusi ataupun yu Parmi, seminggu sebelum dilarikan ke rumah sakit acap kali berinteraksi ngobrol dan kong-kong bareng dengan tetangga.

*****

Kisah pilu kematian dua warga di kampungku itu sangatlah menghantui. Hidup seakan singkat dan hanya menunggu giliran kematian menjemput, entah kapan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun