Malam itu, langit sedang cerah dan tidak berawan. Bulan yang bersinar menyinari kami ketika di tengah laut itu. Kami, sekumpulan orang yang dikirim untuk berperang di tanah Asia. Bukan kemauan kami untuk pergi meninggalkan kelurga, panggilan perang adalah panggilan dari sebuah negara. Perang mungkin hanya untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Tapi, bagi kami perang bukan segalanya.
Saat peluit berbunyi di tengah malam.
"Heyy, bergegas, cepat, kalian bukan dikirim untuk bersantai". Ucap seorang prajurit kepala yang sedang bergegas.
"Anak muda, pegang ini, mungkin kau nanti membutuhkannya. Hahaha". Prajurit kepala itu memberikan sebuah senapan.
Aku tidak mengerti, kenapa prajurit kepala itu memberikan senapan padaku, sedangkan diriku sudah memegang senapan yang lain. saat kami sudah mulai berada di sebuah sekoci kecil yang berisikan 20 orang, kami hanya berdoa dan meminta selamat dan inggin perang ini selesai dengan tenang.
"Tuhan, tolong selamatkan diriku dari tembakan para iblis itu, tuhan tolong berikan aku kekuatanmu itu sampai kami berhasil membawa kabar kemenangan". Pria itu sedang berdoa sambil menundukan kepala.
"Kau cukup tenang rupanya". Ucap seorang temanku, "Tidak ada waktu untuk memikirkan sebuah kematian". Kataku dengan nada pasrah. "Mungkin kita semua akan mati pada akhirnya, tapi aku tidak ingin mati sia-sia malam ini". Temanku terlihat sangat percaya diri.
Bagiku, dikirim ke neraka ini sudah cukup menyakinkan. Kami hanya dikirim untuk mati, bukan dikirim untuk ke surga dan bermain-main. Saat sekoci yang sudah mulai mendekati pantai, gempuran peluru sudah terdengar dan mengenai sekoci kami. Yang nampak hanya ketakukan dan rasa sesal.Â
"Semuanya, jika kita harus mati, biarkan negara tau bahwa kita hari ini dengan bangga berjuang bersama untuk bebas dari belengu para iblis itu". Ucap seorang komandan yang berada satu sekoci. Tidak lama, dia tertembak di kepala, "Mungkin itu bayaran dari negara". Coleteh temanku sambil tertawa kecil. "Mungkin bagimu lucu, tapi dia mati!". Teriak temanku yang berada di depan. "Kau masih takut akan kematian? Seharusnya kau berada di rumah, bukan disini". Temanku mengejek. "Sialan kau". Tidak lama bom mengenai sekoci kami, dan kami terpental untuk menuju pantai.
Aku sudah mulai melihat ratusan mayat terkapar, sudah melihat banyaknya orang terluka. Dengan berani aku mulai maju ke garis pertahanan musuh, tembakan demi tembakan saling menyaut. Ledakan yang mula-mula kecil akhirnya menjadi besar bahkan menghancurkan artileri musuh.