Beberapa tahun terakhir, dunia usaha kecil di Indonesia berubah cepat. Warung tradisional kini menerima pembayaran lewat QRIS. Toko kelontong mencatat transaksi di aplikasi keuangan digital. Dan pemilik usaha rumahan bisa mendapatkan pinjaman modal hanya dengan beberapa klik lewat aplikasi fintech. Semua ini tampak seperti kabar baik. UMKM yang selama ini kesulitan mengakses layanan keuangan formal kini bisa lebih mudah bergerak dan tumbuh. Namun, di balik kemudahan itu muncul pertanyaan penting. Apakah teknologi finansial benar-benar membuat keuangan UMKM lebih transparan ataukah justru menciptakan ancaman baru yang tak terlihat?
Fintech memang membawa banyak kemudahan. Mulai dari dompet digital, sistem pembayaran non-tunai, bahkan transaksi di mana pun, kapan pun bisa dilakukan karena semuanya dirancang untuk membantu pelaku usaha agar lebih efisien. Menurut laporan World Bank (2020), kehadiran fintech membuat pelaku UMKM lebih mudah mendapatkan akses pembiayaan. Jika dulu pengajuan pinjaman ke bank sering terkendala karena tidak ada laporan keuangan yang rapi, kini fintech bisa menilai kelayakan usaha berdasarkan catatan transaksi digital seperti riwayat penjualan lewat e-wallet, QRIS, atau toko online. Dengan kata lain, setiap transaksi yang terekam secara digital menjadi bukti nyata bahwa usaha tersebut berjalan aktif dan sehat. Data inilah yang kemudian digunakan oleh lembaga keuangan berbasis teknologi untuk memberikan pinjaman. Jadi, transaksi digital bukan hanya memudahkan jual-beli, tapi juga membuka peluang modal usaha bagi pelaku UMKM.
Dari sisi akuntansi, inovasi ini seharusnya menjadi berkah. Banyak aplikasi fintech kini sudah menyediakan fitur pencatatan keuangan otomatis. Transaksi tercatat rapi, laporan keuangan bisa diunduh, dan arus kas dapat dipantau setiap saat. Â Hal tersebut sangat membantu bagi pelaku UMKM. Mereka tak perlu repot mencatat manual di buku kas, cukup membuka aplikasi dan semua data sudah tersedia. Lebih dari itu, fintech juga memberi akses ke pendanaan yang dulu sulit dijangkau. Dengan catatan transaksi digital yang rapi, UMKM kini lebih dipercaya oleh lembaga keuangan. Fintech pun mendorong transparansi eksternal. Singkatnya, fintech seperti angin segar yang membantu UMKM melangkah ke era bisnis modern.
Sayangnya, tak semua yang digital berarti aman dan transparan. Menurut laporan Bank Indonesia dan OJK tahun 2023, kemajuan fintech memang membawa banyak manfaat, tapi juga menghadirkan risiko baru di dunia digital. Salah satu yang paling sering terjadi adalah penipuan online, seperti phishing (upaya mencuri data lewat tautan palsu) atau malware (program berbahaya yang bisa meretas sistem keuangan). Selain itu, banyak pelaku UMKM kini bergantung sepenuhnya pada aplikasi fintech untuk mengatur transaksi dan pencatatan keuangan. Jika sistem fintech tersebut mengalami gangguan atau penyalahgunaan, maka seluruh data keuangan mereka bisa ikut terancam.
Fintech juga bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak digunakan dengan bijak. Mengapa demikian? Karena pertama, banyak pelaku UMKM yang masih minim literasi akuntansi digital. Mereka memang menggunakan aplikasi, tapi sering kali tidak memahami bagaimana membaca laporan keuangan yang dihasilkan. Data keuangan tersedia, namun tidak dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan.
Kedua, keamanan data menjadi masalah serius. Tidak semua platform fintech memiliki perlindungan data yang kuat. Beberapa kasus kebocoran data pengguna dan penyalahgunaan informasi keuangan membuat kepercayaan publik goyah. Ketiga, pinjaman online untuk modal usaha sering kali digunakan tanpa perencanaan matang. Tanpa kontrol akuntansi, arus kas jadi berantakan dan utang menumpuk. Alih-alih menolong, fintech justru bisa menjerumuskan UMKM ke dalam "jebakan utang digital".
Di sinilah peran akuntansi menjadi sangat penting. Fintech hanya alat dan alat tidak akan berguna tanpa pengguna yang memahami fungsinya. Akuntansi membantu pelaku UMKM:
1. Mengetahui kondisi keuangan sebenarnya, bukan hanya saldo di aplikasi.