Mohon tunggu...
Muhammad Rezki Hr
Muhammad Rezki Hr Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perencana Muda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komunitas Berpagar: Ancaman bagi Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta?

5 Juni 2014   05:06 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:17 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengamatan Widhyharto (2009) terhadap permukiman berkonsep komunitas berpagar di kawasan APY menunjukkan ciri sebagai berikut:

“...ditandai dengan elemen fisik yang khas. Diantaranya adalah adanya pagar keliling (perimeter wall) entah berupa pagar masif (tembok misalnya), pagar alami, atau pagar yang sifatnya transparan (kawat atau BRC). Elemen lainnya adalah pos satpam, baik yang dijaga maupun tidak, portal, palang pintu atau pintu gerbang, serta gerbang penanda. Terdapat pula tanda-tanda yang berfungsi sebagai penanda/marking seperti “dilarang masuk” atau “tamu harap lapor.” Lokasi komunitas berpagar pun bervariasi. Ada yang berada di lingkungan kampung yang telah ada sebelumnya, di pinggir kampung, atau terpisah sama sekali yang biasanya di area pertanian. Terdapat pula kasus dimana beberapa komunitas baru terbentuk mengelompok di area pertanian.” (Widhyharto, 2009: 211)

Komunitas Berpagar: Ancaman Fragmentasi Spasial dan Disintegrasi Sosial

Pembahasan mengenai komunitas berpagar pada ranah teoritik, hampir selalu dikaitkan dengan pembahasan ancaman fragmentasi spasial dan disintegrasi sosial yang berpotensi muncul sebagai dampak negatif dari eksistensinya. Salah satu alasan yang menjelaskan hal tersebut adalah akibat adanya privatisasi ruang. Para peneliti dan pengamat komunitas berpagar seperti Blakely dan Snyder (1997) dan Glasze dan Meyer (2000) talah sepakat bahwa komunitas berpagar merupakan salah satu sumber terjadinya fragmentasi kota (Widhyharto, 2009). Cahyono (2010) juga menyatakan bahwa terjadinya ketegangan sosial diataranya disebabkan oleh hilangnya tempat-tempat maupun akses yang selama ini dianggap sebagai public goods, akibat adannya komunitas berpagar.

Kekhawatiran konflik sosial akibat adanya komunitas berpagar mulai menjadi nyata di Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Dua contoh dari hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Kamiltelah terjadi di Surabaya dan Cimanggis Depok. Di Surabaya, kehadiran kompleks perumahan Darmo Satelit-lah penyebabnya. Warga yang marah memblokade gerbang masuk dengan cara mengelas portal-portal besi perumahan tersebut. Di Cimanggis Depok, peyebabnya adalah kehadiran Vila Pertiwi. Warga sekitar perumahan sangat marah dengan kehadiran tembok pembatas setinggi 2,5 meter yang mengelilingi perumahan ini yang menjadi penyebab gelapnya lorong sirkulasi di perkampungan sekitar perumahan.

Komunitas Berpagar VS Kampung: Ancaman bagi APY?

Telah banyak penelitian yang berupaya mengungkap eksistensi dan tren perkembangan komunitas berpagar di kawasan APY. Namun, sepanjang pengamatan penulis, penelitian tentang sebarapa jauh eksistensi komunitas berpagar tersebut memberikan dampak sosio-kultural terhadap APY belum terlihat di permukaan. Atau dengan kata lain, apakah kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana telah disampaikan pada poin pembahasan sebelumnya juga terjadi di APY yang notabene sedang mengalami tren perkembangan komunitas berpagar yang cukup pesat? Tentunnya dibutuhkan penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada poin pembahasan ini penulis hanya akan mencoba menguraikan sebarapa besar peluang terjadinya ancaman tersebut di APY.

Eksistensi komunitas berpagar merupakan fenomena yang menarik di kawasan APY jika dilihat dalam persepektif keistimewaan Yogyakarta. Dalam hal ini, keistimewaan Yogyakarta tersebut muncul dalam bentuk simbol kemapanan, kenyamanan, toleran-guyub, dan keagungan budaya (Widhyharto, 2009).  Hal tersebut kemudian berimplikasi kepada dua wujud bentuk permukiman yang eksis di kawasan APY. Pertama, bentuk permukiman masyarakat asli. Untuk kasus Sleman misalnya. Masyarakat asli dari Kabupaten Sleman pada awalnya didominasi oleh masyarakat agraris dan rural yang memiliki prinsip “guyub rukun dengan tetangga”. Hal tersebutlah kemudian yang mendasari pembentukan pola dan struktur ruang permukiman yang terbuka dan menyatu dengan sekitar (Handoko, 2011), atau yang lebih dikenal dengan istilah kampung. Di sisi lain, dari persepektif masyarakat pendatang,  nilai-nilai keistimewaan tersebut adalah daya tarik tersendiri yang menyebabkan mereka tertarik untuk tinggal dan bermukim di sekitaran APY, yang pada gilirannya banyak diantara masyarakat pendatang tersebut yang berkumpul dan bermukim bersama dalam sebuah wilayah, yang salah satunya membentuk sebuah komunitas yang dikenal dengan istilah komunitas berpagar (Widhyharto, 2009).

Meskipun, dalam perspektif ini, kampung dan komunitas berpagar di sekitaran APY lahir atas dasar yang sama, yaitu bingkai keistimewaan Yogyakarta, namun realitanya di lapangan sering ditemui dikotomi yang tajam antara kampung dan komunitas berpagar. Sebagaimana dinyatakan oleh Setiawan (2010) kampung dan perumahan gedongan/real estateseringkali dikontraskan atau didikotomikan yang berimplikasi pada terwujudnya stigma bahwa kampung adalah tempat tinggal orang miskin, warga biasa atauwong cilik, sedangkan perumahan gedongan/real estate, yang tergolong dalam komunitas berpagar, merupakan tempat tinggal mereka yang kaya dan mapan.

Ada banyak penjelasan tentang penyebab munculnya stigma tersebut. Dua diantaranya, yang jarang muncul dalam pembahasan, adalah apa yang disampaikan oleh Widhyharto (2009) yaitu alasan pengembang dan kebijakan pemerintah. Pengembang perumahan berperan banyak di dalam pemebentukanimagebahwa komunitas berpagar adalah tempat yang prestis, berkelas, eksklusif, aman, dan nyaman.Imageini kemudian dimanfaatkan untuk meraup pangsa pasar para elit. Dari sisi kebijakan pemerintah, kehadiran komunitas berpagar tentu merupakan potensi sebagai PAD. Maka kemudian muncullah anggapan bahwa orang kaya mudah diatur daripada orang miskin.

Ilustrasi singkat tersebut menjelaskan bahwa keberadaan sekat antara komunitas berpagar dan kampung juga sangat berpeluang menciptakan sekat sosial antara si kaya dan si miskin. Sekat tersebutlah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial, jika nilai-nilai keguyuban dalam bingkai kebudayaan keistimewaan tidak terus dihadirkan. Kehadiran nilai-nilai keguyuban dalam bingkai kebudayaan keistimewaan tersebut menjadi sangat penting untuk memperkecil sekat sosial yang ada dan menghalangi sekat tersebut berubah menjadi konflik sosial dalam makna yang lebih luas. Diantara penjelasan yang menjadi alasan pentingnya kehadiaran nilai-nilai keguyuban tersebut adalah dibutuhkannya interaksi antara komunitas berpagar dengan kampung sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun