Awal tahun 2020 ini, menjadi masa-masa kritis sekaligus dramatis. Berbeda dengan munculnya virus SARS tahun 2003-2004 (SARS Cov-1 karena tahun 2020 ini disebut sebagai SARS Cov-2) yang tidak sampai memunculkan aksi Social Distancing skala besar. Jumlah korban saat itu hanya sekitar 5000-an di seluruh dunia dengan korban jiwa hanya mencapai 813 orang.
Virus Corona seakan menjadi drama baru yang heboh karena jumlah pasien terus bertambah hingga mencapai 200 ribu orang. Adapun yang sembuh jumlahnya lebih besar yaitu 600 ribuan. Tentu ini harus jadi fokus, bagaimana mereka bisa pulih padahal obat yang benar-benar bisa membunuh virus Corona belum ada?
Solusi pencegahan yang paling ampuh hanyalah pembatasan sosial yang kalau di seluruh dunia namanya Lockdown. Ini menimbulkan gaya hidup baru yang menajdikan orang lebih bergantung pada sarana teknologi untuk bersosialisasi dan belajar. Orang menjadi seperti 'asyik dengan dunianya sendiri' atau introvert baru.
Tentang sistem yang terdigitalisasi sebagai bentuk budaya baru, tentu kita ingat dengan kartun Jepang tentang masa depan pada era 1990-an. Masyarakat sudah sangat bergantung dengan sarana teknologi seperti berkomunikasi, meeting, hingga sekolah. Keadaan itu persis era sekarang ini.
Seakan, era ini secara tidak langsung dimanfaatkan oleh produsen teknologi untuk uji coba budaya digitalisasi di masa depan. Orang menjadi semakin malas keluar rumah dan interaksi secara fisik jadi semakin terbatas akibat teknologi digital itu.
Budaya baru di era pandemi ini menjadi sejarah awal munculnya abad teknologi yang terkosentrasi di dalam rumah. Karantina ini juga muncul karena ada ketakutan masal. Biasanya orang takut dengan hantu, hewan liar, maupun penjahat, kini ketakutan mengarah pada sesama manusia. Seakan, kita belajar untuk jangan terlalu percaya dengan orang lain dikarenakan 'membawa virus.'
Ketakutan masyarakat dan munculnya budaya teknologi merupakan imbas dari munculnya pandemi Corona yang dianggap sama parah dengan Flu Spanyol tahun 1918. Perilaku manusia yang berubah ini juga harus disadarkan dengan mengurangi ketakutan dan berfikir positif. Dampak ganggauan mental bisa terjadi jika ketakutan dan pikiran negatif tidak dilawan dengan aktivitas yang bermanfaat.
Bertemu dengan keluarga dan menjalani hidup sehat harus dilakukan. Tubuh yang sehat serta pikiran jernih akan menjadikan kita pribadi yang positif sehingga mendapatkan penilaian yang baik bagi masyarakat dimanapun berada.
Kita juga harus perbanyak ibadah serta menjalani aktivitas sosial dengan membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi. Kita bisa menyumbang dana berupa uang maupun bantuan sembako. Meskipun begitu, peran pemerintah juga sangat berarti dalam menghadapi pandemi dan membantu masyarakat secara ekonomi.
Jangan sampai perilaku yang cenderung menutup diri dan terlalu bergantung pada teknologi menjadi budaya kita sehari-hari. Mulailah berfikir positif dan menjalani hidup sehat serta tidak menyakiti sesama manusia. Hal itu dilakukan agar kehidupan kita seimbang.
Tidak lupa hal paling penting adalah, doakan semoga pandemi ini segera berakhir hingga memasuki gerbang bulan Ramadhan. Tentu, kita sangat ingin bersua dengan keluarga kita yang tengah berada di luar kota pada hari Lebaran nanti.