Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandemi Corona Mengubah Tatanan Baru Budaya Masyarakat

23 April 2020   08:06 Diperbarui: 23 April 2020   07:59 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah seperti #stayathome, #dirumahaja, #lawancovid19, dan tagar di berbagai media sosial terus bermunculan di tengah pandemi. Penyakit yang penyebarannya masif ini baru muncul pada Maret 2020 di Indonesia sejak ada 2 warga Depok yang positif (meskipun ada yang menganggap bulan Januari 2020).

Munculnya pandemi ini menimbulkan ketakutan di masyarakat. Tentu pemerintah harus memberlakukan karantina dengan menyuruh masyarakat tinggal di rumah. Mereka tidak boleh keluar rumah kecuali ada kepentingan mendesak. Namun sampai kapan ini berakhir, kita tidak tahu.

Lamanya karantina ini membuat siapapun berpotensi menjadi introvert karena jarang berinteraksi kecuali pada orang di rumah. Aktivitas yang hanya dilakukan di rumah bisa menimbulkan kebiasaan baru yang berbeda dengan aktivitas yang dahulu dikerjakan sejak belum ada pandemi.

Sebelumnya, pandemi ini hanya seperti berita dunia heboh persis pemberitaan di On The Spot. Persis seperti pemberitaan Flu Singapura, Virus Ebola, HIV AIDS, dan Flu Burung. Penyebarannya tidak begitu masif seperti Corona sehingga orang menganggap orang cenderung menganggapnya sepele.

Sejak heboh munculnya 2 warga Depok yang positif Corona pada Maret 2020 lalu, pemerintah segera memberlakukan karantina di rumah masing-masing. Muncullah kebiasaan mudah waspada. Efeknya, orang menjadi takut keluar karena dampak pandemi yang sangat serius.


Penyebaran virus yang berawal dari Pasar Hewan di Wuhan, China ini tersebar ke negara lain. Italia adalah negara di luar China yang terkena pandemi pada Januari 2020. Padahal, mereka tidak makan kelelawar dan bersentuhan dengan orang China seperti yang diberitakan awal-awal di Wuhan.

Hingga akhirnya, ruang publik ditutup dan masyarakat dilarang keluar rumah. Jika keluar, mereka dikenakan denda sebesar 14 Euro. Karantina yang berlangsung hingga 3 bulan ini itu tentu bisa menimbulkan kebosanan dan untuk mengatasinya mereka sampai mengadakan live music layaknya konser besar.

Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk mengamati fenomena budaya baru. Karantina di rumah dan ketakutan yang melanda menjadi sebuah budaya baru. Aktivitas via online menjadi pembunuh kejenuhan itu.

Untuk percakapan jarak jauh, kita harus menghubunginya via online. Mulai dari kegiatan penting seperti rapat kenegaraan, rapat perusahaan, hingga sekedar menyapa teman saja menjadi pengalaman pertama ngomong via internet. Biasanya menggunakan hape ataupun laptop yang mempunyai jaringan internet.

Social Distancing menjadi strategi yang dianggap paling ampuh untuk memutur penularan virus Corona. Masyarakat menjadi semakin berjarak dengan siapapun meskipun ada yang masih menjalin kontak fisik. Jaga jarak ini bisa memunculkan dua sisi penilaian, bisa menimbulkan sikap anti sosial ataukah bentuk sayang demi mencegah Corona.

Awal tahun 2020 ini, menjadi masa-masa kritis sekaligus dramatis. Berbeda dengan munculnya virus SARS tahun 2003-2004 (SARS Cov-1 karena tahun 2020 ini disebut sebagai SARS Cov-2) yang tidak sampai memunculkan aksi Social Distancing skala besar. Jumlah korban saat itu hanya sekitar 5000-an di seluruh dunia dengan korban jiwa hanya mencapai 813 orang.

Virus Corona seakan menjadi drama baru yang heboh karena jumlah pasien terus bertambah hingga mencapai 200 ribu orang. Adapun yang sembuh jumlahnya lebih besar yaitu 600 ribuan. Tentu ini harus jadi fokus, bagaimana mereka bisa pulih padahal obat yang benar-benar bisa membunuh virus Corona belum ada?

Solusi pencegahan yang paling ampuh hanyalah pembatasan sosial yang kalau di seluruh dunia namanya Lockdown. Ini menimbulkan gaya hidup baru yang menajdikan orang lebih bergantung pada sarana teknologi untuk bersosialisasi dan belajar. Orang menjadi seperti 'asyik dengan dunianya sendiri' atau introvert baru.

Tentang sistem yang terdigitalisasi sebagai bentuk budaya baru, tentu kita ingat dengan kartun Jepang tentang masa depan pada era 1990-an. Masyarakat sudah sangat bergantung dengan sarana teknologi seperti berkomunikasi, meeting, hingga sekolah. Keadaan itu persis era sekarang ini.

Seakan, era ini secara tidak langsung dimanfaatkan oleh produsen teknologi untuk uji coba budaya digitalisasi di masa depan. Orang menjadi semakin malas keluar rumah dan interaksi secara fisik jadi semakin terbatas akibat teknologi digital itu.

Budaya baru di era pandemi ini menjadi sejarah awal munculnya abad teknologi yang terkosentrasi di dalam rumah. Karantina ini juga muncul karena ada ketakutan masal. Biasanya orang takut dengan hantu, hewan liar, maupun penjahat, kini ketakutan mengarah pada sesama manusia. Seakan, kita belajar untuk jangan terlalu percaya dengan orang lain dikarenakan 'membawa virus.'

Ketakutan masyarakat dan munculnya budaya teknologi merupakan imbas dari munculnya pandemi Corona yang dianggap sama parah dengan Flu Spanyol tahun 1918. Perilaku manusia yang berubah ini juga harus disadarkan dengan mengurangi ketakutan dan berfikir positif. Dampak ganggauan mental bisa terjadi jika ketakutan dan pikiran negatif tidak dilawan dengan aktivitas yang bermanfaat.

Bertemu dengan keluarga dan menjalani hidup sehat harus dilakukan. Tubuh yang sehat serta pikiran jernih akan menjadikan kita pribadi yang positif sehingga mendapatkan penilaian yang baik bagi masyarakat dimanapun berada.

Kita juga harus perbanyak ibadah serta menjalani aktivitas sosial dengan membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi. Kita bisa menyumbang dana berupa uang maupun bantuan sembako. Meskipun begitu, peran pemerintah juga sangat berarti dalam menghadapi pandemi dan membantu masyarakat secara ekonomi.

Jangan sampai perilaku yang cenderung menutup diri dan terlalu bergantung pada teknologi menjadi budaya kita sehari-hari. Mulailah berfikir positif dan menjalani hidup sehat serta tidak menyakiti sesama manusia. Hal itu dilakukan agar kehidupan kita seimbang.

Tidak lupa hal paling penting adalah, doakan semoga pandemi ini segera berakhir hingga memasuki gerbang bulan Ramadhan. Tentu, kita sangat ingin bersua dengan keluarga kita yang tengah berada di luar kota pada hari Lebaran nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun