Mukanya ditekukkan bagai baju yang belum disetrika. Seakan ada sesuatu di dalam hatinya. Aku tak tahu apa itu yang pasti kebencian.
Aku duduk di sebuah kursi pada meja payung. Terdapat dua kursi kosong di samping kiri dan kananku serta satu kursi yang diduduki seorang gadis. Gadis itu berhadapan denganku.
Ia berjilbab biru dan sesekali main telepon genggam. Keasyikannya bermuka dua, satu menatap layar namun matanya sesekali menatapku.
Pupil coklat itu bagai delima ketika menyorot tajam padaku. Sungguh silaunya bikin menusuk mata sekaligus pikiranku. Aku merasa jeri.
Tiba-tiba, ia menurunkan telepon genggamnya. Matanya langsung menatapku.
"Mas, kowe dadi uwong kok apik men tho!" Gadis itu membuka suara.
Aku hanya menatapnya dengan nanar. Mulut seperti digembok oleh kekuatan gaib yang aku tidak tahu itu apa. Bukan berarti ditutup oleh sesosok orang tak kasat mata.
Ucapannya lantang hingga memecah keheningan. Bicaranya menggebu namun dengan isi yang terkesan memuji. Kata 'kok kowe apik men' itu memengaruhiku.
Wajahnya agak oriental dengan hidung sedikit mancung. Kulitnya kuning langsat dan halus, tidak ada bekas apapun. Ia memakai jilbab biru muda, baju kemeja lengan panjang dengan motif kotak biru-biru, serta celana jeans hitam dan sepatu putih. Tipikal gadis gaul, jutek, juga ekstrover.
Aku selalu melihat orang dari segi fisik. Wajahnya, pakaiannya, postur tubuh, kulitnya, kuliahnya, termasuk kata apa yang diucapkan. Namun, aku tidak bisa mengukur orang dari segi yang imateri seperti cara mengucapkan, maksudnya, dan apa yang disukai maupun tidak disukai.
Termasuk apa yang diucapkan. Ia seolah memuji dengan mengatakan aku orangnya baik namun dengan ucapannya yang lantang. Mimiknya memberi kesan kurang menyenangkan. Marah tapi menggunakan ungkapan memuji. Ironi banget.