Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sastra sebagai Seni dan sebagai Ilmu Humaniora

28 November 2019   22:54 Diperbarui: 28 November 2019   23:22 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya sudah lama tidak menulis tentang dunia sastra. Lulus dari Jurusan Sastra pada tahun 2015 lalu dan baru menghasilkan tulisan pada awal-awal 2016 namun bolong-bolong. Kemudian, saya mulai bergiat menulis kembali di blog pribadi pada Desember 2018.

Baiklah, saya akan bahas apa yang selama ini menggelayuti pikiran. Apabila ada yang mengatakan bahwa mencari kerja untuk lulusan Sastra itu susah, saya mengamini meskipun tidak 100 persen. Saya pernah melamar kerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku pelajaran terbesar di Solo, ditolak.

Saya melamar sebagai staf Content Writer, juga ditolak. Melamar sebagai Reporter, pernah ditolak. Melamar kerja Analis, juga ditolak. Melamar Staf Perpustakaan, juga ditolak.

Bahkan, sampai ikut lomba menulis cerpen di beberapa event seperti Lomba Cerpen untuk Hari Santri di Departemen Agama dan UKM BEM UNS, tidak dapat juara. Pernah juga lomba puisi dengan tema lingkungan tapi hasilnya gagal.

Pertanyaannya, lulusan Sastra mau jadi apa? Semua pekerjaan yang berhubungan dengan literatur, sudah saya lamar. Bahkan, pernah mengajukan portofolio tulisan untuk editor dan staf content writer, tapi belum ada panggilan satupun dari beberapa instansi. Masalah jurusan ini pernah saya ungkapkan di sebuah notes Facebook pada 6 tahun lalu (tepatnya 2013 tapi sudah saya hapus).

Seorang motivator pernah berkata bahwa apabila di pikiran kita muncul hal-hal yang mengganggu maka lakukanlah dengan menuangkannya ke dalam tulisan. Pikiran saya tentang realita jurusan sastra kembali dituangkan dalam media ini.

Saya akan bicara tentang jurusan sastra. Sebelum kuliah, saya merupakan salah satu dari beberapa calon mahasiswa sastra yang berfikiran bahwa lulusannya akan menjadi sastrawan. Sebab, nama sastra yang ternisbat pada jurusan itu setara dengan jurusan seni. Namun, praktiknya sangat jauh berbeda. Kegiatan pembelajarannya lebih pada penjabaran teori-teori.

Di semester satu, kita berkenalan dengan pengantar sastra. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar mengingat bahwa pemahaman tentang dunia kesusastraan perlu dikenalkan dalam dunia akademik. Kita akan berkenalan dengan realita sastra secara umum seperti tinlit, novel, cerpen, cerbung, cergam, drama, musik, dan film.

Namun, ekspektasi kita akan berubah ketika berkenalan dengan beberapa teori. Mulanya ada Mata Kuliah Teori Sastra. Materinya tidak mengajarkan kesusastraan sebagai karya seni bermediumkan bahasa melainkan sebagai kajian tentang realitas budaya dan arbitrasi bahasa.

Pemahaman kita tentang praktik kesenian pun perlahan berubah. Kajiannya lebih banyak menekankan pada eksistensi bahasa dan budaya secara empirik. Tidak banyak dijelaskan tentang cara membuat karya sastra, pemilihan diksi, maupun kesenian bahasa.

Tidak lebih menjelaskan bahasa dan budaya secara umum sebagai bagian dari kehidupan manusia. Inilah yang menjadikan kajian sastra tidak jauh beda dengan ilmu humaniora seperti sosiologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun