Kalcer dan skena jadi dua istilah yang semakin sering muncul di media sosial. Dua kata ini tidak hanya populer, tapi juga menyimpan makna kultural yang merepresentasikan gaya hidup dan identitas Gen Z. Tapi, kenapa sih kata kalcer dan skena bisa sedekat itu dengan keseharian kita?
"Wah, gaya lo kalcer banget sih."
"Ini sih fix anak skena."
Kita mungkin sering menemukan kalimat seperti itu di komentar TikTok, Twitter (X), atau caption Instagram. Dua kata ini---kalcer dan skena---sedang jadi bagian dari bahasa sehari-hari Gen Z.
Tapi, pernahkah kamu bertanya: sebenarnya apa arti dua kata ini? Dan kenapa begitu banyak Gen Z yang menggunakannya?
Kata "Kalcer" sebenarnya diambil dari kata culture dalam bahasa Inggris. Tapi dalam konteks sosial media dan tongkrongan anak muda, maknanya menyempit jadi gaya hidup yang artsy, estetik, dan 'anak indie banget'.
Kalcer itu yang bajunya earth tone, suka kamera analog, nongkrong di kafe industrial, dan feed-nya selalu rapi. Tapi lebih dari soal visual, kalcer adalah cara seseorang menyusun identitas sosial melalui tampilan.
Sedangkan kata "Skena" diambil dari kata scene dalam bahasa Inggris. Dahulu merujuk ke komunitas musik atau seni independen---tempat orang-orang nongkrong, berdiskusi, atau main band bareng.
Namun kini, "anak skena" adalah label baru untuk:
* Mereka yang pakai streetwear atau brand lokal
* Dengerin musik yang katanya "nggak pasaran"
* Nongkrong di tempat hidden gem
* Upload foto candid dengan tone gelap, vibes sendu
Skena sudah bergeser dari istilah komunitas menjadi identitas gaya yang punya kode sosial tertentu.
Dan pertanyaannya: apakah kita benar-benar tidak bisa mengekspresikan hal serupa dalam bahasa Indonesia? Atau kita hanya belum terbiasa mendengar bahasa kita tampil bebas, tanpa nada sekolah atau formal?
Bahasa Indonesia sebenarnya juga bisa sangat dalam dan menyentuh. Kalimat seperti:
* "Aku baik, tapi pura-pura"
* "Lelah bukan berarti kalah"
...bisa terasa sangat jujur dan akrab. Tapi kadang, menyebut sesuatu dengan bahasa asing memberi rasa jarak. Lebih aman. Tidak terlalu telanjang.
Lalu, Kenapa dua kata ini begitu populer di kalangan Gen Z?
Pertama, karena singkat dan mudah diucap. Kedua, karena mereka memuat banyak makna dalam satu sebutan. Tapi yang lebih penting: bahasa seperti "kalcer" dan "skena" adalah cara Gen Z mengekspresikan identitas sosialnya.
Bahasa tidak pernah netral. Ia selalu berkaitan dengan:
* Keinginan untuk diterima
* Rasa ingin tampil beda tapi relatable
* Cara menghindari formalitas yang terlalu kaku
Banyak dari kita tumbuh dengan bahasa Indonesia yang dikenalkan dalam bentuk aturan sekolah: formal, kaku, dan penuh tanda baca. Maka, ketika kita menemukan kosakata yang terasa lebih luwes---meski campuran---itu jadi ruang yang terasa bebas.
"Mungkin kita bukan tidak bisa mengekspresikan gaya dengan bahasa sendiri. Tapi kita belum terbiasa mendengar bahasa Indonesia dipakai dengan santai, personal, dan tidak terlalu 'resmi'."
Media sosial mengaburkan batas antara gaya hidup dan gaya bicara. Dan dalam dunia yang serba visual, istilah seperti "kalcer" dan "skena" jadi semacam label sosial: siapa kamu, kamu nongkrong di mana, dan bagaimana kamu ingin dilihat.
Keduanya menunjukkan bagaimana bahasa bisa bertransformasi jadi alat ekspresi diri---bukan cuma alat komunikasi.
Kalcer dan skena bukan hanya soal gaya. Mereka adalah bukti bahwa bahasa terus hidup, tumbuh bersama generasi yang menggunakannya. Kata-kata ini menyimpan cerita tentang bagaimana Gen Z menavigasi identitas, selera, dan hubungan sosial di era digital.
Jadi, saat kamu menggunakan kata "kalcer" atau "skena", sadar atau tidak, kamu sedang bicara lebih dari sekadar outfit. Kamu sedang membentuk narasi tentang dirimu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI