18 Agustus 1945: Malam-Malam yang Menentukan
Jakarta masih panas dan berdebu dari kepungan perang. Di ruang sederhana PPKI, lampu minyak bergetar di atas meja kayu yang sudah rapuh. Kertas-kertas Piagam Jakarta tersusun rapi, menunggu tinta para tokoh bangsa. Setiap orang yang hadir menyimpan gelora di dada, ketakutan sekaligus harapan, seperti bara api yang belum padam.
Ki Bagus Hadikusumo duduk tegak, tangan terlipat, matanya menyapu setiap wajah di ruang itu. Dalam hatinya, ia berkata:
"Jika aku menuntut agar syariat Islam dicantumkan utuh, apakah aku mengorbankan persatuan negeri yang baru lahir ini? Atau jika aku menunduk, akankah sejarah menganggap aku mengkhianati iman?"
Di sampingnya, K.H. Wahid Hasyim menatap dokumen yang sama, bibirnya terkatup rapat. Ia mengulang kata-kata ayahnya, K.H. Hasyim Asy'ari, di benak: "Agama harus menuntun manusia, bukan menjadi penyebab perpecahan." Ia tahu, perubahan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah kompromi pahit, namun langkah itu akan menjaga bangsa tetap utuh.
Di sudut lain, Kasman Singodimedjo merasakan hawa tegang yang membeku di udara. Ia menyeimbangkan pandangan antara tokoh nasionalis dan Islam. Suaranya lembut, tapi tegas ketika ia berbicara dalam hati:
"Kita tidak bisa membiarkan perbedaan memecah negeri ini. Persatuan lebih penting daripada menang sendiri."
Teuku Mohammad Hasan dari Aceh, dengan wajah serius, menulis catatan kecil di meja. Ia tahu Aceh, dengan rakyatnya yang taat, akan menerima keputusan ini jika dipandu dengan bijak. Ia bergumam lirih:
"Bangsa ini luas. Dari Sabang sampai Merauke, kita harus menanam benih kesatuan, walau pahit rasanya di lidah para ulama."
Malam itu, diskusi berlangsung hingga subuh. Bung Hatta menatap tokoh-tokoh Islam dengan pandangan teduh:
"Tidak ada yang lebih sulit daripada menyatukan hati manusia. Tetapi tugas kita adalah memilih jalan yang mengikat, bukan memecah."
Ketika akhirnya kata-kata disepakati---sila pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa"---ada kelegaan yang samar, tapi juga rasa kehilangan. Ada yang tersenyum tipis, ada yang menunduk menahan rasa kecewa. Namun semua tahu, bangsa harus tetap disatukan.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun menjadi babak lain dari kompromi ini. Beberapa tokoh Islam sempat mengusulkan calon yang lebih dekat dengan nilai-nilai keagamaan. Tapi mereka menerima Soekarno-Hatta. Kasman Singodimedjo menarik napas panjang dan berkata dalam hati:
"Ini bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang siapa yang mampu membawa bangsa ini tetap hidup."
Di luar ruang itu, Jakarta mulai merangkak dari gelap malam menuju fajar. Suara kendaraan, langkah kaki, dan keriuhan kota yang baru merdeka terdengar samar. Para tokoh Islam, meski lelah, menyadari bahwa mereka baru saja menulis sejarah---sejarah yang lahir dari kompromi, pengorbanan, dan kesetiaan pada bangsa.
Piagam Jakarta tetap hidup sebagai roh konstitusi. UUD 1945 menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Islam tetap menjadi cahaya yang menuntun, walau tidak tercantum secara eksplisit di setiap kata. Sejarah mencatat, bukan hanya fakta, tapi juga monolog hati manusia yang memilih persatuan di atas ego.
Hari itu, 18 Agustus 1945, bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah malam-malam yang menentukan, di mana tokoh-tokoh Islam belajar menimbang iman dan bangsa, bukan dengan pedang, tapi dengan hati dan kata-kata.
Jakarta, 18 Agustus 2025
Muhammad MS
Pecinta Sejarah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI