Mohon tunggu...
Muhammad MS
Muhammad MS Mohon Tunggu... Bloger, Pemerhati Sosial

Pemerhati Sosial, Penulis Lepas,

Selanjutnya

Tutup

Politik

18 Agustus 1945: Persatuan di Atas Segalanya

18 Agustus 2025   08:54 Diperbarui: 18 Agustus 2025   08:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPKU 18 agustus 2045 : Ilustrasi by AI generated 

18 Agustus 1945: Malam-Malam yang Menentukan

Jakarta masih panas dan berdebu dari kepungan perang. Di ruang sederhana PPKI, lampu minyak bergetar di atas meja kayu yang sudah rapuh. Kertas-kertas Piagam Jakarta tersusun rapi, menunggu tinta para tokoh bangsa. Setiap orang yang hadir menyimpan gelora di dada, ketakutan sekaligus harapan, seperti bara api yang belum padam.

Ki Bagus Hadikusumo duduk tegak, tangan terlipat, matanya menyapu setiap wajah di ruang itu. Dalam hatinya, ia berkata:

"Jika aku menuntut agar syariat Islam dicantumkan utuh, apakah aku mengorbankan persatuan negeri yang baru lahir ini? Atau jika aku menunduk, akankah sejarah menganggap aku mengkhianati iman?"

Di sampingnya, K.H. Wahid Hasyim menatap dokumen yang sama, bibirnya terkatup rapat. Ia mengulang kata-kata ayahnya, K.H. Hasyim Asy'ari, di benak: "Agama harus menuntun manusia, bukan menjadi penyebab perpecahan." Ia tahu, perubahan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah kompromi pahit, namun langkah itu akan menjaga bangsa tetap utuh.

Di sudut lain, Kasman Singodimedjo merasakan hawa tegang yang membeku di udara. Ia menyeimbangkan pandangan antara tokoh nasionalis dan Islam. Suaranya lembut, tapi tegas ketika ia berbicara dalam hati:

"Kita tidak bisa membiarkan perbedaan memecah negeri ini. Persatuan lebih penting daripada menang sendiri."

Teuku Mohammad Hasan dari Aceh, dengan wajah serius, menulis catatan kecil di meja. Ia tahu Aceh, dengan rakyatnya yang taat, akan menerima keputusan ini jika dipandu dengan bijak. Ia bergumam lirih:

"Bangsa ini luas. Dari Sabang sampai Merauke, kita harus menanam benih kesatuan, walau pahit rasanya di lidah para ulama."

Malam itu, diskusi berlangsung hingga subuh. Bung Hatta menatap tokoh-tokoh Islam dengan pandangan teduh:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun