Mohon tunggu...
Muhammad MS
Muhammad MS Mohon Tunggu... Bloger, Pemerhati Sosial

Pemerhati Sosial, Penulis Lepas,

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara yang Takut pada Bayangan dan Lupa pada Keadilan

12 Agustus 2025   11:08 Diperbarui: 13 Agustus 2025   06:56 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sylfester: ilustrasi by AI generated 

Negara yang Takut pada Bayangan dan Lupa pada Keadilan

Ada hal-hal yang sulit dimengerti di negeri ini. Salah satunya adalah ketika vonis pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap sejak bertahun-tahun lalu, tapi eksekusinya tak kunjung terjadi. Di sisi lain, hal-hal kecil yang tak mengancam nyawa bangsa justru ditangani dengan kecepatan luar biasa. Pertanyaannya sederhana: keadilan ini untuk semua, atau hanya untuk yang tak punya kuasa?

Nama Sylvester Matutina sudah lama muncul di pemberitaan. Proses hukumnya selesai, hakim sudah mengetuk palu, dan sejak 2019 putusannya inkracht. Secara hukum, tak ada lagi alasan untuk menunda. Eksekusi seharusnya tinggal dijalankan. Kejaksaan punya kewenangan penuh, prosedurnya jelas, dan kalau mau, proses ini bisa dilakukan dengan cepat.

Tapi enam tahun berlalu, eksekusi itu tak pernah dilakukan. Enam tahun! Dalam rentang waktu itu, seorang anak bisa tumbuh dari masuk SD sampai lulus SMP. Namun untuk mengeksekusi satu putusan yang jelas dasarnya, negara seperti kehilangan langkah.

Alasan yang beredar di publik selalu mirip: prosedur, koordinasi, atau demi "stabilitas". Tapi di mata rakyat, semua itu terdengar seperti alasan untuk menutupi satu hal: keberanian yang hilang. Bagaimana mungkin negara, dengan seluruh aparatnya, bisa terlihat takluk pada satu orang?

Yang membuat rakyat makin geleng-geleng kepala adalah kontrasnya. Beberapa waktu lalu, negara begitu cepat bereaksi pada hal yang... kalau dipikir, cukup sepele: sebuah bendera dengan gambar karakter anime. Dalam hitungan jam, larangan keluar, pernyataan resmi dilontarkan, bahkan ancaman disebar. Katanya demi menjaga martabat simbol negara.

Saya tidak membenarkan pelanggaran protokol, tapi sulit untuk tidak membandingkan. Untuk bendera anime, reaksi negara seperti sambaran kilat. Untuk vonis Sylvester Matutina yang sudah inkracht sejak 2019, kejaksaan bisa diam seperti batu.

Fenomena ini mengingatkan saya pada istilah lama: "tumpul ke atas, tajam ke bawah." Dalam teori hukum, semua orang sama di depan undang-undang. Tapi dalam praktiknya, hukum sering punya dua wajah: keras pada yang lemah, lembut pada yang kuat.

Bagi rakyat kecil, pemandangan ini menyesakkan. Mereka yang tiap hari diingatkan untuk taat aturan, membayar pajak, mengurus izin, bahkan terlambat sedikit saja bisa kena denda. Mereka melihat negara yang begitu galak pada hal-hal kecil, tapi gamang ketika berhadapan dengan perkara besar. Lama-lama rasa percaya itu terkikis.

Dan ketika kepercayaan pada hukum hilang, yang runtuh bukan hanya citra pemerintah, tapi juga sendi paling dasar dari negara hukum: keyakinan bahwa keadilan itu nyata, bukan sekadar slogan di spanduk atau pidato.

Vonis Sylvester Matutina yang tak kunjung dieksekusi sejak 2019 ini sebenarnya bisa menjadi momentum. Momentum bagi kejaksaan untuk membuktikan bahwa hukum benar-benar bekerja tanpa pandang bulu. Karena jika momentum ini terus dibiarkan lewat, publik akan semakin yakin: hukum di negeri ini hanya berlaku sesuai selera, dan keberanian aparat bisa diukur dari seberapa besar lawan yang dihadapi.

Negara yang terlalu sering takut pada bayangan, cepat marah pada hal kecil, dan diam pada masalah besar---pada akhirnya sedang membangun jalan sunyi menuju runtuhnya kepercayaan rakyat. Dan ketika kepercayaan itu hilang, tak ada undang-undang yang cukup kuat untuk menegakkan wibawa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun