Kalau hanya seminggu dua minggu mungkin masih bisa. Tapi kalau sampai satu tahun (semoga tidak terjadi) apakah Anda tidak kasihan dengan hasrat yang Anda miliki sudah bergelora untuk memadu kasih.
Ibarat sedang memperbaiki atap, posisi Anda sudah sampai di atap lalu palu yang akan digunakan tertinggal di bawah, kebetulan di bawah pas ada orang, lalu ada dua opsi, Anda kembali ke bawah mengambil palu atau meminta bantuan orang yang ada di bawah untuk melemparkan ke atas.
Saya yakin orang yang tidak lulus bangku SMP pun akan memilih opsi yang kedua. Yaitu meminta bantuan orang lain untuk melemparkan palu tersebut ke atas. Meskipun palu yang dilemparkan akan punya peluang jatuh ke bawah, tapi setidaknya hal itu dapat dikurangi kemungkinan resiko buruknya, seperti menyuruh orang yang disekitar untuk menjauh, dan menyingkirkan barang-barang yang rawan pecah ketika palu itu jatuh ke bawah.
Begitu pula saat Anda terapkan terhadap apa yang terjadi pada orang yang akan naik ke bangku pelaminan. Dengan menimbang berbagai kemungkinan yang terjadi. Resiko dapat diminimalisir sekecil mungkin.
Orang paruh baya yang sedikit agamis pasti akan bilang "ijapan disek ae, resepsine sok ben".
Saya sependapat dengan orang semacam itu. Segala persiapan sudah dilakukan, kesepakatan orang tua calon mempelai sudah terjalin. dikala keadaan untuk mengundang orang dengan jumlah banyak mempunyai resiko besar yang besar. Meskipun yang terlibat dalam prosesi ijab kabul yang melibatkan segelintir orang masih saja dihantui resiko. Setidaknya, meminimalisir kemungkinan buruknya lebih mudah.
Jangan sampai nikmat Tuhan yang sudah menanti tertunda seperti perhelatan-perhelatan akbar semacam lomba olahraga di atas.
Ada sedikit harapan terselubung dari kaum-kaum yang akan memadu kasih, kalaupun lockdown benar-benar diberlakukan. Harapan mereka hanya satu, Kantor Urusan Agama tetap buka.