Mohon tunggu...
Muhammad llham
Muhammad llham Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional

Tertarik pada isu keamanan, lingkungan, kesehatan, dan pangan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menjaga Laut Natuna Lewat Diplomasi: Melihat Ulang Kerja Sama Bakamla dan China Coast Guard

11 Oktober 2025   17:19 Diperbarui: 12 Oktober 2025   20:28 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Beberapa tahun belakangan, kawasan Laut Natuna Utara telah menjadi perhatian publik internasional, khususnya di Asia-Pasifik. Hal ini dikarenakan saling klaim antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia akan kawasan ini. Kawasan yang kaya akan minyak, gas, dan ikan ini memiliki arti penting bukan hanya bagi perekonomian Indonesia, tetapi juga bagi stabilitas geopolitik kawasan, khususnya di kawasan Indo-China. Beberapa insiden sempat mencuat ke publik, seperti ketika kapal penjaga pantai Tiongkok mengawal nelayan mereka memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sehingga hal ini mendorong respons tegas dari BAKAMLA dan TNI AL. Ketegangan semacam ini menegaskan betapa rapuhnya stabilitas di kawasan tersebut, meski ketegangan ini sudah mereda, hal ini menjadi alarm tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah pencegahan konflik ketegangan laut yang serupa terjadi lagi. Untuk mengantisipasi ketegangan semacam ini kedepannya, Indonesia memilih langkah yang strategis dengan menggunakan diplomasi pertahanan sebagai bentuk penerapan strategi modern dalam menjaga keamanan dan kedaulatan lautnya. Pendekatan ini tampak dalam upaya kerja sama maritim dengan berbagai negara, termasuk dengan Tiongkok itu sendiri.

Langkah ini terlihat jelas pada pertemuan tingkat tinggi antara Bakamla RI dan China Coast Guard di Beijing pada 9 Januari 2025, yang menjadi tindak lanjut dari pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping pada November 2024. Kepala Bakamla RI, Laksdya TNI Dr. Irvansyah, memimpin langsung delegasi Indonesia dan menegaskan pentingnya kerja sama bilateral untuk memperkuat keamanan dan keselamatan maritim di kawasan (Erasbatam.id, 2025). Pertemuan tersebut menandai babak baru dalam strategi pertahanan maritim Indonesia yang lebih adaptif dan berbasis diplomasi. Dalam konteks ini, diplomasi pertahanan menjadi instrumen penting untuk mengelola potensi konflik tanpa konfrontasi, sekaligus menjaga kepercayaan antarnegara.

Diplomasi Pertahanan: Instrumen Strategi Modern

Perlu diketahui, diplomasi pertahanan sendiri merupakan bentuk penerapan strategi modern di mana negara menggunakan interaksi militer non-konfrontatif seperti latihan bersama, pertemuan tingkat tinggi, dan pertukaran informasi keamanan sebagai sarana membangun kepercayaan (Cottey & Forster, 2004). Pendekatan ini menempatkan diplomasi dan kerja sama sebagai “perpanjangan tangan” dari langkah pertahanan nasional suatu negara.

Melalui diplomasi pertahanan, Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan maritim tidak hanya diukur dari kemampuan tempur, tetapi juga dari kecerdasan strategis dalam membangun hubungan dengan negara lain. Penulis melihat, kerja sama Bakamla–China Coast Guard ini merupakan contoh nyata bagaimana diplomasi dapat digunakan sebagai alat pencegahan konflik (conflict prevention).

Penulis juga sepakat pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini penting karena ketegangan di Laut Natuna Utara sering kali berakar pada kesalahpahaman operasional antarpenegak hukum laut. Dengan komunikasi langsung antar lembaga, risiko salah tafsir atau insiden di lapangan dapat diminimalkan. Hal ini sejalan dengan konsep confidence-building measures (CBMs) yang banyak digunakan dalam teori hubungan internasional modern untuk mencegah eskalasi konflik di wilayah sensitif (Booth & Wheeler, 2008).

Kedaulatan Adaptif dan Diplomasi Aktif

Penulis melihat strategi Indonesia di Laut Natuna mencerminkan apa yang disebut sebagai kedaulatan adaptif, yaitu kemampuan suatu negara dalam menyesuaikan taktik dan kebijakan terhadap perubahan lingkungan geopolitik tanpa kehilangan prinsip kedaulatannya. Dalam hal ini, Indonesia tetap berhasil mempertahankan klaim dan kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), namun juga membuka ruang dialog dengan pihak lain seperti China.

Pendekatan ini memperlihatkan pergeseran dari pola pikir zero-sum game menuju cooperative security. Artinya, keamanan nasional tidak semata dicapai dengan menyingkirkan ancaman, tetapi dengan membangun kerja sama yang menurunkan potensi ancaman itu sendiri (Acharya, 2014). Dalam konteks ini, Bakamla RI menjadi ujung tombak strategi maritim yang berorientasi pada kerja sama regional dan keamanan kolektif.

Selain itu, kerja sama Bakamla dan China Coast Guard juga memperkuat implementasi visi Poros Maritim Dunia yang dicanangkan sejak masa Presiden Joko Widodo. Visi tersebut menekankan pentingnya diplomasi maritim, ekonomi biru, dan keamanan laut sebagai satu kesatuan strategi pembangunan nasional (Kemenko Marves, 2023). Dalam hal ini.diplomasi pertahanan berperan sebagai jembatan antara keamanan dan diplomasi ekonomi maritim, menciptakan stabilitas yang mendukung aktivitas ekonomi dan eksplorasi sumber daya secara berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun