Komunikasi publik adalah seni dan ilmu menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan cara yang jelas, menghargai, serta mampu membangun kepercayaan. Namun, pola komunikasi sejumlah pejabat Indonesia belakangan ini justru mengkhawatirkan. Alih-alih menenangkan publik, ucapan mereka kerap memperkeruh suasana dan memicu reaksi emosional rakyat.
Fenomena ini terlihat dalam respon pemerintah dan DPR terhadap 17+8 tuntutan rakyat yang menjadi simbol keresahan publik. Bukannya ditanggapi dengan empati, keterbukaan, dan solusi, sebagian pejabat justru mengedepankan komunikasi defensif bahkan ofensif. Akibatnya, bukannya meredam ketegangan, justru muncul gelombang demonstrasi yang berlangsung lebih dari sepekan di kompleks DPR RI.
Salah satu yang paling viral adalah pernyataan Menteri Agama, Nasarudin Umar, yang menyebut bahwa kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadilah pedagang. Ucapan ini, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai motivasi, justru melukai harga diri jutaan guru di Indonesia yang setiap hari berjuang mendidik bangsa. Dari sudut pandang public speaking, ini menunjukkan lemahnya indikator sensitivitas audiens.
Seorang pejabat publik idealnya memahami siapa audiensnya. Guru bukan sekadar profesi, melainkan simbol pengabdian. Dengan menyampaikan pernyataan yang terkesan merendahkan profesi guru, pejabat kehilangan indikator respect, rasa hormat yang mutlak harus hadir dalam komunikasi publik.
Tidak berhenti di situ, pola komunikasi anggota DPR RI pun menjadi sorotan. Alih-alih menanggapi kritik masyarakat dengan argumentasi berbasis data dan kebijakan, sejumlah anggota dewan memilih merespons dengan kata-kata kasar. Dalam indikator public speaking, hal ini mencederai ethos, yaitu kredibilitas dan karakter pembicara.
Kredibilitas seorang pejabat dibangun bukan hanya dari prestasi, melainkan juga dari tutur kata. Ucapan kasar atau meremehkan rakyat hanya akan menimbulkan distrust. Komunikasi publik seharusnya menjaga harmoni, bukan memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa.
Komunikasi publik bukan sekadar kata, tetapi cermin jiwa seorang pemimpin. Ucapan yang kasar merobohkan kepercayaan, sementara kalimat penuh empati membangun harapan. Indonesia butuh pejabat yang berbicara dengan hati, bukan hanya dengan kuasa.
Kondisi ini berujung pada eskalasi sosial. Demonstrasi besar-besaran di depan DPR RI menjalar menjadi aksi pembakaran dan penjarahan di sejumlah daerah, termasuk gedung DPRD dan rumah politisi. Pola komunikasi yang salah menjadi salah satu pemicu, karena rakyat merasa suara mereka tidak dihargai, bahkan dilecehkan.
Contoh nyata datang dari Bupati Pati, Sudewo, yang menyampaikan bahwa dirinya tidak takut didemo masyarakat terkait kenaikan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Pernyataan itu, meski terkesan tegas, justru menyalakan api perlawanan. Indikator empathy dalam public speaking sama sekali hilang, padahal keberanian tanpa empati hanya akan dibaca sebagai arogansi.
Hasilnya dapat ditebak. Pernyataan tersebut justru menjadi viral, memantik gerakan sosial yang heroik dan mobilisasi massa menolak kebijakan. Dari perspektif komunikasi publik, pernyataan pejabat yang tidak memiliki sense of timing dan awareness of context akan mudah menjadi bumerang.
Sebagai perbandingan, pemimpin yang memahami public speaking biasanya memperhatikan tiga indikator utama, yaitu logos (logika dan data), ethos (kredibilitas dan moral), serta pathos (emosi dan empati). Ketiganya harus hadir secara seimbang agar komunikasi dapat diterima masyarakat.