Di tengah langit Jakarta yang murung pascademonstrasi besar-besaran akhir Agustus lalu, muncul sebuah wajah baru gerakan sipil yang tidak lagi terdefinisi oleh asap ban terbakar dan kaca pecah. Pada Jumat sore (5/9/2025), ratusan anak muda berjejal di Klab Klub Stage, Pestapora, JIExpo Kemayoran. Mereka datang bukan hanya untuk musik, melainkan untuk menyuarakan politik dengan cara berbeda, yaitu ngepop, ceria, tapi penuh makna.
Band Majelis Lidah Berduri yang tampil di panggung itu tak hanya menyalakan adrenalin lewat musik, tetapi juga menyulut kesadaran kolektif. Di layar jumbo terpampang tulisan "17+8" berwarna pink dan hijau. Angka simbolik yang menuntut DPR dan pemerintah membenahi kebijakan tidak pro-rakyat. Bersamaan dengan itu, sepuluh nama korban jiwa demonstrasi terpampang jelas, mengingatkan publik bahwa suara rakyat selalu memiliki harga.
Teori mobilisasi sosial mengajarkan bahwa gerakan butuh medium, simbol, dan resonansi untuk memperluas jejaring dukungan. Musik, festival, dan budaya pop kini menjadi medium yang efektif. Alih-alih mimbar orasi di jalan raya, anak muda memilih panggung musik sebagai arena artikulasi politik. Resonansi emosional tercipta melalui estetika warna cerah, mural "Warga Jaga Warga", hingga bunga papan bertuliskan "Turut Berduka Cita Untuk Suara Rakyat yang Dibungkam".
Gerakan sipil anak muda kini hadir bukan dengan kobaran api, tapi dengan warna pink-hijau, musik, dan mural. Mereka memilih jalan kreatif untuk menolak kebijakan timpang, membuktikan bahwa perlawanan bisa lantang tanpa harus destruktif.Â
Sosiolog James Campbell Scott pernah menyebut tentang weapons of the weak, senjata kaum lemah. Dalam konteks Indonesia hari ini, senjata itu tidak lagi berupa gosip, bisik-bisik, atau boikot kecil-kecilan, melainkan simbol budaya pop yang gampang viral, yaitu warna pink, hijau, poster mural, hingga seruan hashtag #ResetIndonesia. Ini adalah perlawanan sehari-hari yang memanfaatkan bahasa visual dan gaya hidup anak muda kelas menengah.
Gerakan "17+8" tidak lahir di ruang hampa. Ia berakar dari rasa frustrasi terhadap kebijakan politik yang dianggap makin menjauh dari kepentingan rakyat. Namun, berbeda dari tradisi perlawanan yang penuh amarah dan kekerasan, anak muda kini memilih jalur estetis dan performatif. Mereka tahu, bensin hanya menghasilkan api sesaat, tapi warna pink-hijau yang viral bisa bertahan lama dalam ingatan publik.
Fenomena ini menunjukkan transformasi cara perlawanan dimediasi. Jika dulu mahasiswa 1998 mengandalkan spanduk dan selebaran, kini generasi digital mengandalkan layar gawai, feed Instagram, dan panggung musik. Budaya pop menjadi kanal untuk memperhalus sekaligus memperkeras kritik politik. Halus karena tampil kasual, keras karena gaungnya cepat viral.
Ada simbolisme kuat dalam pemilihan warna. Hijau yang diambil dari jaket ojek daring mencerminkan rakyat pekerja, sedangkan pink dari kerudung Bu Ana melambangkan keberanian sipil perempuan di hadapan aparat. Kombinasi keduanya bukan hanya "ngepop", tetapi juga autentik. Ia lahir dari pengalaman nyata, bukan strategi pemasaran.
Teori mobilisasi sosial menekankan pentingnya framing isu. "17+8" bukan sekadar angka, tetapi bingkai kolektif yang mudah diingat, dibicarakan, dan direproduksi. Sama seperti "Reformasi" pada 1998 atau "Black Lives Matter" di Amerika, angka simbolik ini bekerja sebagai narasi payung yang menyatukan beragam keresahan dalam satu tuntutan bersama.
Menariknya, estetika ngepop membuat gerakan ini inklusif. Tidak semua orang nyaman turun ke jalan menghadapi gas air mata, tetapi banyak yang mau mengenakan baju pink-hijau, memposting mural "Saling Jaga", atau mengunggah kutipan "militer kembali ke barak!" di media sosial. Ini adalah bentuk partisipasi politik low-risk, high-visibility, yang memobilisasi lebih banyak massa.
James Campbell Scott menyebut perlawanan sehari-hari sebagai bentuk survival budaya rakyat terhadap represi. Dalam lanskap Indonesia kini, sunscreen menjadi metafora paling tepat. Anak muda datang ke festival bukan dengan bensin, tapi sunscreen, melindungi diri dari terik matahari sembari menyalakan cahaya perlawanan. Politik hadir sebagai gaya hidup, bukan sekadar agenda formal.