Dalam logika hukum tata negara, kondisi ini bisa disebut sebagai grey area. Publik melihat ada sanksi, sementara dari sisi undang-undang tidak ada yang berubah. Dualisme persepsi inilah yang kerap menimbulkan kebingungan dan bahkan ketidakpuasan rakyat.
Apabila publik menginginkan adanya mekanisme pemberhentian sementara anggota DPR seperti istilah nonaktif, maka revisi terhadap UU MD3 perlu dilakukan. Namun, hal itu juga berpotensi menimbulkan perdebatan konstitusional, karena menyangkut representasi hasil pemilu dan prinsip kedaulatan rakyat.
Nonaktif hanyalah bahasa partai, bukan bahasa konstitusi. Selama belum ada PAW, anggota DPR tetap sah, aktif, dan berhak penuh. Demokrasi hanya bisa hidup jika hukum berdiri lebih tinggi daripada kepentingan politik.
Di banyak negara demokrasi, recall atau PAW dilakukan dengan dasar yang jelas, seperti pelanggaran kode etik, tindak pidana, atau pelanggaran serius terhadap aturan partai. Mekanisme tersebut tidak mengenal istilah "nonaktif" tanpa dasar hukum. Oleh sebab itu, Indonesia perlu memperjelas konsep ini agar tidak sekadar menjadi jargon politik.
Kasus ini juga mengajarkan pentingnya literasi hukum politik bagi masyarakat. Publik perlu memahami bahwa antara langkah politik partai dengan langkah hukum konstitusional terdapat batasan yang jelas. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan tanpa merusak tatanan hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, polemik penonaktifan anggota DPR kali ini menegaskan satu hal: hukum dan politik sering berjalan beriringan, tetapi tidak selalu sejalan. Partai boleh saja merespons tekanan publik dengan langkah politik, tetapi legitimasi keanggotaan DPR tetap tunduk pada hukum. Tanpa mekanisme PAW, status anggota dewan yang "dinonaktifkan" itu tetap melekat hingga akhir masa jabatannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI