Kekalahan Putri Kusuma Wardani di semifinal Kejuaraan Dunia BWF 2025 di Adidas Arena, Paris, bukan sekadar soal skor 21-17, 14-21, dan 21-6 dari Akane Yamaguchi.
Kekalahan ini merepresentasikan betapa peran ketahanan fisik menjadi kunci dalam era badminton modern. Putri sempat memberi perlawanan di gim kedua, tetapi kehilangan energi secara drastis di gim ketiga.
Putri yang kini menduduki peringkat 9 dunia memperlihatkan progres signifikan dengan menembus empat besar dunia. Namun, lawannya, Akane Yamaguchi, pemain Jepang peringkat 5 dunia, memiliki keunggulan stamina, disiplin, dan konsistensi strategi.
Hal ini terlihat jelas ketika reli panjang dimainkan untuk menguras energi Putri. Akhirnya, Putri tetap bisa menyelamatkan citra Indonesia dengan raihan piala perunggu, sebagai piala satu-satunya yang didapatkan kontingen.
Sejak gim pertama, pertandingan berjalan ketat. Putri mampu meladeni reli dan menekan Akane, meski kalah tipis.
Pada gim kedua, Putri memperlihatkan determinasi luar biasa dengan merebut kemenangan 21-14. Akan tetapi, kemampuan fisiknya tidak cukup menopang intensitas permainan di gim penentuan.
Kebuntuan Putri di gim ketiga, dengan hanya mencetak enam angka, mencerminkan keterbatasan daya tahan fisik.
Dalam teori manajemen olahraga modern, hal ini disebut sebagai physical sustainability gap, kesenjangan daya tahan yang menghambat kemampuan eksekusi strategi permainan.
Badminton bukan hanya tentang pukulan indah, tetapi tentang bagaimana fisik mampu menopang strategi hingga gim terakhir. Kekalahan Putri Kusuma Wardani di semifinal Paris menjadi pengingat: stamina adalah senjata rahasia yang membedakan juara dari sekadar finalis.
Akane, sebaliknya, terlihat nyaman. Ia mendikte jalannya pertandingan dengan variasi serangan dan pertahanan yang konsisten.
Reli panjang dijadikan alat psikologis untuk menguras energi dan konsentrasi Putri. Ketika fisik melemah, fokus pun ikut goyah, membuat kesalahan demi kesalahan tak terhindarkan.