Insiden penembakan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di perbatasan RI--Timor Leste kembali mengguncang ruang publik nasional. Pada Senin, 25 Agustus 2025, Paulus Oki, warga Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, dilaporkan tewas akibat tembakan di wilayah Inbate, Kecamatan Bikomi Nilulat. Tragedi ini menambah daftar korban sipil setelah sebelumnya seorang WNI berinisial AB ditemukan tewas di wilayah Fatumea, Suai, Timor Leste, pertengahan Agustus lalu.
Kementerian Luar Negeri RI segera merespons dengan menuntut klarifikasi resmi dari Pemerintah Timor Leste. Duta Besar RI untuk Timor Leste, Okto Dorinus Manik, bahkan langsung meninjau lokasi kejadian dan berkoordinasi dengan otoritas setempat. Namun, di balik langkah diplomasi cepat itu, ada pertanyaan besar yang harus dijawab, sampai kapan konflik perbatasan ini terus menelan korban tanpa ada penyelesaian struktural?
Menurut laporan awal Satgas Pengamanan Perbatasan, delapan selongsong peluru dan satu proyektil ditemukan di lokasi kejadian. Bukti ini menguatkan dugaan bahwa penembakan dilakukan oleh pasukan patroli perbatasan Timor Leste, Unidade de Patrulhamento da Fronteira (UPF). Jika benar demikian, maka persoalan ini tidak lagi sekadar konflik horizontal antarwarga, melainkan sudah melibatkan aparat bersenjata lintas negara.
Dalam perspektif teori pertahanan nasional, konflik perbatasan termasuk ke dalam kategori non-traditional security threat yang memiliki dimensi multidisipliner. Bukan hanya soal kedaulatan teritorial, tetapi juga perlindungan warga negara, stabilitas regional, hingga citra diplomasi internasional. Indonesia dituntut menghadapi persoalan ini dengan pendekatan komprehensif, yaitu diplomasi, keamanan, hukum, hingga pembangunan ekonomi perbatasan.
Setiap jengkal tanah perbatasan adalah simbol kedaulatan bangsa. Saat satu nyawa WNI tertembak, itu bukan sekadar tragedi, melainkan panggilan bagi negara untuk hadir dengan diplomasi yang tegas dan pertahanan yang kuat, agar rakyat di garis terluar terlindungi sepenuhnya.
Lahan di Inbate telah lama menjadi titik perselisihan antara warga kedua negara. Batas teritorial yang belum sepenuhnya selesai pasca-kemerdekaan Timor Leste membuka ruang bagi klaim sepihak, baik oleh individu maupun oleh kelompok komunitas. Tanpa kesepakatan final batas wilayah, potensi gesekan akan selalu ada, dan warga sipil kerap menjadi korban pertama.
Dari sisi teori resolusi konflik, insiden ini memperlihatkan kegagalan pada tahap conflict prevention. Seharusnya, melalui early warning system dan koordinasi patroli gabungan, potensi eskalasi bisa diminimalisasi. Ketika aparat negara justru menjadi bagian dari konflik, maka confidence-building measures antar militer perbatasan harus segera ditingkatkan.
Indonesia dan Timor Leste memang telah menandatangani sejumlah perjanjian mengenai perbatasan, namun implementasinya masih menyisakan banyak titik rawan. Ada wilayah yang disepakati di atas kertas, tetapi di lapangan masih diperebutkan. Situasi ini memunculkan konflik mikro antara warga, yang kemudian melebar menjadi konflik antarnegara saat aparat keamanan turun tangan.
Pertahanan nasional Indonesia, dalam konteks ini, tidak boleh hanya dimaknai sebagai penempatan pasukan bersenjata di garis depan. Lebih dari itu, negara harus hadir dengan program perlindungan warga perbatasan, pembangunan ekonomi lokal, dan mekanisme hukum yang jelas. Tanpa kehadiran negara secara menyeluruh, masyarakat akan terus berada dalam posisi rentan.
Diplomasi tetap menjadi instrumen utama. Jakarta dan Dili harus berani masuk ke meja perundingan dengan komitmen menyelesaikan masalah batas negara secara tuntas. Penyelesaian setengah hati hanya akan memperpanjang siklus konflik. Kesepakatan final mengenai batas wilayah harus bersifat binding agreement dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas dan terukur.
Selain itu, penguatan pasukan penjaga perbatasan (Satgas Pamtas) mutlak diperlukan. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penjaga garis kedaulatan, tetapi juga pelindung masyarakat sipil. Pelatihan dalam community engagement dan protokol komunikasi lintas negara penting agar aparat tidak mudah terseret dalam konflik warga.