Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Benteng Beton vs Akar Mangrove, Polemik Giant Sea Wall di Pantura Jawa

15 Juni 2025   23:20 Diperbarui: 15 Juni 2025   23:20 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giant Sea Wall Jakarta di pesisir Jakarta untuk melindungi banjir air laut (Sumber: chatnews.id)

Pembangunan Giant Sea Wall sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto pada International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di Jakarta telah memantik diskursus publik nasional. Proyek bernilai Rp 1.280 triliun itu tidak hanya soal anggaran raksasa, namun menyentuh aspek vital. Suatu kondisi kelangsungan ekologi pesisir dan masa depan penghidupan nelayan.

Proyek ini memang ambisius. Dengan asumsi kurs Rp 16.000 per dolar AS, nilai US$ 80 miliar membuatnya menjadi salah satu proyek infrastruktur pesisir terbesar dalam sejarah Indonesia. Tujuannya adalah melindungi kawasan pantai utara Jawa dari ancaman banjir rob, abrasi, dan potensi naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim global. Namun, besarnya ambisi ini harus sepadan dengan kehati-hatian ekologis.

Survei Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia memperlihatkan kegelisahan masyarakat pesisir. Dari 105 responden, lebih dari 56 persen menyatakan kekhawatiran akan dampak lingkungan proyek ini terhadap laut, mangrove, dan keberlangsungan ekonomi nelayan. Sebuah sinyal yang tidak boleh dianggap sepele dalam setiap keputusan strategis nasional.

Secara historis, proyek ini bukan barang baru. Wacana tanggul laut raksasa pernah digaungkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pasca banjir rob 2007. Dikenal dengan Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS), konsep ini kemudian berkembang menjadi Jakarta Giant Sea Wall, yang kini diambil alih dalam bentuk lebih besar dan merentang antarprovinsi di Pantura.

Hal yang menjadi persoalan pokok bukan hanya tentang apakah tanggul raksasa ini perlu, melainkan bagaimana membangunnya agar tidak menjadi pagar beton yang membunuh kehidupan laut. Tanpa desain ekologis yang sensitif dan partisipasi komunitas lokal, proyek ini berpotensi menjadi pagar eksklusif yang justru menyuburkan konflik sosial-ekologis baru di kawasan pesisir.

Untuk itu, diperlukan pendekatan hibrid antara infrastruktur keras (hard infrastructure) berupa betonisasi dan infrastruktur hijau (green infrastructure) berbasis konservasi ekosistem mangrove dan lamun. Mangrove memiliki daya redam alami terhadap gelombang tinggi dan banjir rob, serta mampu menyerap karbon empat kali lebih besar dari hutan daratan. Tanpa integrasi ini, tanggul hanya menjadi solusi jangka pendek.

Beton bisa menahan air, tapi hanya ekosistem yang bisa menahan kehidupan. Pembangunan tanggul laut harus menyatu dengan akar mangrove dan denyut nelayan.

Di banyak negara, seperti Belanda dan Jepang, proyek tanggul laut disandingkan dengan restorasi ekosistem pantai untuk menciptakan sistem pertahanan pesisir yang adaptif. Indonesia bisa meniru praktik baik ini, dengan mengembangkan zona perlindungan mangrove paralel dengan jalur tanggul, sehingga tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Lebih dari itu, proyek ini harus menjawab dua dimensi secara bersamaan, yaitu pertahanan fisik dan keberlanjutan sosial. Nelayan adalah penjaga laut pertama yang terdampak langsung oleh perubahan ekosistem pantai. Dalam skema pendanaan daerah yang akan terlibat, keberpihakan pada ekonomi komunitas pesisir menjadi hal mutlak, bukan sekadar kompensasi teknokratik.

Presiden Prabowo benar bahwa proyek ini tidak boleh ditunda. Tapi yang juga tidak boleh diabaikan adalah bahwa pembangunan tidak boleh meninggalkan jejak kerusakan ekologis yang tak terpulihkan. Pembangunan yang dikejar cepat dan seragam berisiko mengabaikan keragaman kondisi pesisir dari Banten ke Gresik yang memiliki dinamika geomorfologi dan sosial yang berbeda-beda.

Penting untuk mendorong impact assessment yang berbasis ilmu lingkungan partisipatif. Kajian ini tidak cukup hanya dilakukan sebelum konstruksi, tapi harus berkelanjutan sepanjang proyek berjalan, bahkan setelah selesai. Ekosistem laut bukan hanya soal garis pantai, tetapi juga perairan dangkal, padang lamun, dan wilayah pemijahan ikan yang tidak terlihat dari permukaan.

Jika proyek Giant Sea Wall dipadukan dengan restorasi 100.000 hektare mangrove, seperti komitmen Indonesia dalam berbagai forum iklim global, maka proyek ini bisa menjadi landmark baru pembangunan hijau Indonesia. Namun jika tidak, ia akan dicatat sejarah sebagai proyek mahal yang membentengi daratan, sekaligus mengucilkan kehidupan bahari.

Pesisir adalah garis pertama pertahanan Indonesia dari krisis iklim. Jangan hanya kita bentengi dengan beton, tetapi kuatkan dengan hutan mangrove dan tekad bersama. 

Dari sisi pendanaan, proyek raksasa ini memerlukan skema keuangan campuran yang transparan: dari anggaran pusat, pinjaman luar negeri, hingga kontribusi daerah. Di sinilah pentingnya pengawasan publik dan audit sosial agar tidak terjadi korupsi ekologis dan finansial. Kita tidak hanya membangun beton, tapi membangun kepercayaan bangsa terhadap masa depan pesisirnya.

Hal yang paling mendesak kini adalah membentuk task force lintas sektor dan lintas ilmu, bukan hanya insinyur dan ekonom, tapi juga ekolog, ahli pesisir, antropolog, dan perwakilan nelayan. Mereka harus duduk setara di meja perencanaan. Karena laut bukan hanya milik negara, tapi rumah bagi jutaan masyarakat pesisir.

Proyek ini akan menjadi cermin apakah Indonesia benar-benar belajar dari krisis iklim atau hanya menambalnya dengan solusi cepat. Giant Sea Wall bisa menjadi giant opportunity bila dibangun dengan kebijaksanaan ekologis dan keberpihakan pada masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun