Keputusan Harvard University menggugat pemerintahan Presiden Donald Trump ke pengadilan federal di Massachusetts bukan sekadar urusan akademik atau kebijakan imigrasi. Ini adalah panggilan perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan eksekutif untuk mengendalikan dunia intelektual yang seharusnya merdeka dan otonom.
Pemerintahan Trump memberlakukan larangan penerimaan mahasiswa asing di institusi pendidikan tinggi, kebijakan yang oleh Harvard dianggap sebagai bentuk pembalasan atas penolakan mereka terhadap intervensi negara dalam hal kurikulum, tata kelola, dan kebebasan berpikir sivitas akademika. Gugatan ini menjadi preseden penting tentang relasi kekuasaan antara negara dan universitas sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Di dalam sistem demokrasi, Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat menjadi landasan kuat bagi kebebasan berekspresi, beragama, dan berserikat. Harvard menegaskan bahwa kebijakan Trump melanggar hak-hak tersebut, terutama ketika larangan imigrasi ini dijadikan alat politik untuk menghukum lembaga yang tidak tunduk kepada kehendak politik partisan.
Tuduhan Trump bahwa Harvard mendorong kekerasan, anti-Semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China adalah tuduhan serius. Namun alih-alih mengedepankan jalur investigasi yang transparan dan berbasis bukti, Trump justru memilih jalan represif melalui regulasi pembatasan imigrasi akademik. Ini menunjukkan adanya pendekatan otoritarian dalam menghadapi perbedaan ideologi di ruang publik.
Harvard bukan hanya universitas ternama, tetapi simbol dari keunggulan intelektual global yang merangkul keberagaman mahasiswa dari berbagai negara. Ketika lembaga semacam ini dipaksa menyeragamkan kurikulum dan tata kelolanya berdasarkan kehendak pemerintah pusat, maka yang sedang dipertaruhkan adalah masa depan kebebasan akademik itu sendiri.
Ketika kebebasan akademik dibungkam oleh kekuasaan, universitas bukan lagi benteng ilmu, tapi jadi alat propaganda. Gugatan Harvard bukan sekadar perlawanan hukum, tapi suara nurani dunia pendidikan melawan tirani kebijakan.
Dalam konteks kebijakan publik, tindakan Harvard mencerminkan prinsip check and balance antara lembaga negara dan institusi non-negara. Universitas adalah arena otonomi moral dan ilmiah yang tidak seharusnya dijadikan alat politik kekuasaan, terlebih dengan pendekatan hukuman administratif terhadap kebijakan penerimaan mahasiswa.
Kita tidak boleh lupa bahwa dunia akademik Amerika Serikat telah lama menjadi magnet bagi generasi muda dari seluruh dunia. Jika kebijakan diskriminatif seperti ini terus berlanjut, maka Amerika akan kehilangan posisi strategisnya sebagai pemimpin pendidikan global. Dan lebih dari itu, akan terjadi kemunduran dalam pembangunan peradaban berbasis kolaborasi lintas bangsa.
Harus diakui bahwa gugatan Harvard bukan hanya melindungi kepentingan institusinya sendiri, tetapi juga memperjuangkan hak lebih luas dari setiap mahasiswa internasional yang menjadi korban kebijakan xenofobik pemerintah. Ini adalah pembelaan terhadap prinsip keterbukaan dan mobilitas intelektual global.
Dari sudut pandang pengembangan organisasi, Harvard telah memperlihatkan karakter kepemimpinan institusional yang berani, yakni mengambil risiko demi mempertahankan integritas dan nilai-nilai dasarnya. Ini adalah pelajaran penting bagi organisasi lain, termasuk universitas di belahan dunia mana pun, bahwa mempertahankan otonomi adalah bentuk tanggung jawab moral dan profesional.
Kasus ini juga menyingkap persoalan lebih luas tentang bagaimana populisme dan nasionalisme sempit bisa mengganggu tata kelola organisasi yang sehat. Ketika negara terlalu dalam mencampuri urusan internal lembaga pendidikan, maka yang terjadi adalah penyeragaman pemikiran dan pembunuhan atas keragaman intelektual.Â
Para pembuat kebijakan harus melihat bahwa respons Harvard bukanlah tindakan oposisi politik, melainkan ekspresi kedaulatan institusional yang sah secara hukum. Negara yang demokratis seharusnya menjamin ruang aman bagi lembaga pendidikan untuk berkembang tanpa tekanan ideologis dari pihak mana pun, termasuk pemerintah sendiri.
Negara boleh berganti pemimpin, tapi prinsip kebenaran dan kebebasan berpikir harus tetap dijaga. Harvard mengajarkan bahwa diam di hadapan ketidakadilan adalah pengkhianatan terhadap peradaban.Â
Dalam jangka panjang, gugatan ini akan menguji seberapa kuat sistem peradilan AS dalam membela konstitusi dari campur tangan politik partisan. Bila pengadilan memenangkan gugatan Harvard, maka ini akan menjadi tonggak penting dalam perlindungan otonomi akademik dari ancaman kekuasaan eksekutif.
Namun jika sebaliknya, maka dunia harus bersiap menyaksikan babak baru dari politisasi pendidikan di Amerika, yang ironisnya terjadi di negara yang mengklaim diri sebagai benteng demokrasi dan kebebasan berpikir. Dan Harvard, dalam posisi ini, telah mengambil langkah historis dalam menjaga warisan intelektualnya.
Pada akhirnya, dunia akan menilai bukan dari seberapa kuat kekuasaan pemerintah, melainkan dari seberapa teguh lembaga-lembaga seperti Harvard berdiri membela prinsip dan nilai-nilai kebebasan yang menjadi fondasi demokrasi. Dan di sanalah letak nilai strategis gugatan ini, sebagai pengingat bahwa kekuasaan boleh berganti, tetapi prinsip harus tetap dijaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI