Para pembuat kebijakan harus melihat bahwa respons Harvard bukanlah tindakan oposisi politik, melainkan ekspresi kedaulatan institusional yang sah secara hukum. Negara yang demokratis seharusnya menjamin ruang aman bagi lembaga pendidikan untuk berkembang tanpa tekanan ideologis dari pihak mana pun, termasuk pemerintah sendiri.
Negara boleh berganti pemimpin, tapi prinsip kebenaran dan kebebasan berpikir harus tetap dijaga. Harvard mengajarkan bahwa diam di hadapan ketidakadilan adalah pengkhianatan terhadap peradaban.Â
Dalam jangka panjang, gugatan ini akan menguji seberapa kuat sistem peradilan AS dalam membela konstitusi dari campur tangan politik partisan. Bila pengadilan memenangkan gugatan Harvard, maka ini akan menjadi tonggak penting dalam perlindungan otonomi akademik dari ancaman kekuasaan eksekutif.
Namun jika sebaliknya, maka dunia harus bersiap menyaksikan babak baru dari politisasi pendidikan di Amerika, yang ironisnya terjadi di negara yang mengklaim diri sebagai benteng demokrasi dan kebebasan berpikir. Dan Harvard, dalam posisi ini, telah mengambil langkah historis dalam menjaga warisan intelektualnya.
Pada akhirnya, dunia akan menilai bukan dari seberapa kuat kekuasaan pemerintah, melainkan dari seberapa teguh lembaga-lembaga seperti Harvard berdiri membela prinsip dan nilai-nilai kebebasan yang menjadi fondasi demokrasi. Dan di sanalah letak nilai strategis gugatan ini, sebagai pengingat bahwa kekuasaan boleh berganti, tetapi prinsip harus tetap dijaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI