Ketahanan nasional tak hanya bergantung pada kekuatan militer dan stabilitas politik, tetapi juga sangat ditentukan oleh kemandirian di sektor kesehatan, terutama kemandirian obat. Ketika suatu negara masih bergantung pada pasokan obat dari luar negeri, maka sesungguhnya negara tersebut menyimpan titik rawan dalam sistem pertahanannya. Di sinilah urgensi strategi kedaulatan obat menjadi sangat relevan dan mendesak untuk diwujudkan secara nyata.
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) merupakan langkah penting yang patut diapresiasi. Nota kesepahaman ini membuka peluang besar untuk penguatan produksi obat-obatan dalam negeri, terutama yang dibutuhkan oleh institusi pertahanan seperti TNI dan rumah sakit militer. Lebih jauh lagi, langkah ini bisa menjadi batu loncatan untuk mewujudkan harga obat yang lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat umum.
Selama ini, Kemenhan melalui TNI telah memiliki infrastruktur farmasi yang cukup kuat, baik dari sisi lembaga farmasi sendiri maupun jaringan rumah sakit militer seperti RSAD, RSAU, dan RSAL yang tersebar di berbagai daerah. Dengan kebutuhan besar yang terus meningkat, institusi pertahanan merupakan kekuatan pasar domestik yang strategis untuk menjadi tulang punggung pengembangan industri obat nasional.
Namun kenyataannya, lebih dari 90 persen bahan baku obat yang digunakan di Indonesia masih bergantung pada impor. Bahkan, hingga hari ini, 100 persen cangkang kapsul obat masih harus didatangkan dari luar negeri. Ketergantungan ini tidak hanya menyumbang mahalnya harga obat di dalam negeri. Hal yang ironisnya bisa lebih mahal dari negara tetangga, tetapi juga menciptakan kerentanan sistemik dalam hal pasokan jika terjadi konflik geopolitik global.
Kedaulatan sebuah bangsa bukan hanya dijaga dengan senjata, tapi juga dengan kemampuan meracik obat sendiri untuk rakyatnya.
Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan sumber daya alam hayati yang luar biasa untuk mengembangkan kemandirian obat, terutama dari bahan alam dan sumber biologi. Fakta bahwa 65 persen obat modern di dunia kini berbasis biologi seharusnya menjadi motivasi nasional untuk berinvestasi lebih dalam riset dan pengembangan obat berbasis bahan alam Indonesia.
Sayangnya, masih banyak tenaga medis di Indonesia yang memandang sebelah mata pada potensi pengobatan herbal dan bahan alam. Padahal, bila diformulasikan dan diteliti dengan pendekatan saintifik, obat bahan alam dapat diolah menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT) bahkan fitofarmaka yang dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.
Obat bahan alam juga memiliki keunggulan strategis dibandingkan obat konvensional. Produksi obat konvensional sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku impor dan industri kimia berat. Sebaliknya, obat bahan alam relatif lebih mudah dikembangkan karena didukung oleh keberlimpahan hayati Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Saat ini, terdapat 18 industri ekstrak bahan alam (IEBA) yang telah tersertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Namun kapasitas industri ini belum dioptimalkan secara maksimal. Padahal, jika diberdayakan secara serius, industri ini bisa menjadi tumpuan utama dalam pembangunan ekosistem farmasi nasional berbasis bahan alam.
Beberapa industri obat tradisional (IOT) dan IEBA bahkan sudah mulai membangun sistem penjaminan mutu dari hulu, mulai dari pembibitan, pembiakan, hingga pembudidayaan tanaman obat. Mereka telah tergabung dalam Asosiasi Industri Ekstrak Bahan Alam dan Rempah Indonesia (AIRINDO), yang merupakan jaringan potensial untuk mewujudkan rantai pasok farmasi berbasis kedaulatan sumber daya lokal.
Dengan sinergi antara Kemenhan dan BPOM, serta potensi kolaborasi dengan industri farmasi milik TNI dan para pelaku industri bahan alam, kita sedang menyaksikan embrio kedaulatan obat nasional yang dapat tumbuh besar. Apalagi jika langkah ini disertai keberpihakan anggaran, regulasi afirmatif, dan dorongan riset yang berkelanjutan dari perguruan tinggi dan lembaga litbang nasional.